[6] A. Insiden Roti Bakar

194 11 0
                                    

Gilang Kusuma : Tmnn gw mkn di kntn skrg.

Devina mendengus menatap pesan yang dikirimkan Gilang sejak beberapa menit yang lalu, "Ini orang minta ditemenin makan apa ngajak gue berantem sih. Ngirit banget kalo ngetik,"

"Nah lo ketahuan kan. Ngatain orang di belakang itu nggak baik lo, Na. Dosa tau,"

"Ya Tuhan. Ngagetin aja sih lo," Devina terperanjat mendengar suara Gilang yang tiba-tiba saja berada di sampingnya.

"Lo itu sebenarnya siapa sih? Setan ya? Pantes nyebelin,"

Gilang hanya terkekeh pelan, tidak berniat menanggapi ucapan Devina. Dengan sekali hentakan, Gilang menarik Devina keluar dari kelasnya, sedangkan Devina hanya pasrah karena sadar tenaganya tidak akan cukup untuk memberontak.

Entah sengaja atau tidak, Afrian keluar dari kelasnya dengan membawa kotak bekal berwarna biru bersamaan dengan Gilang dan Devina yang baru saja keluar dari kelas XI IPA 2.

Devina tersenyum ketika menyadari kotak bekal yang dibawa Afrian adalah kotak bekal miliknya. Namun senyum itu mendadak pudar ketika matanya menangkap sesosok anak perempuan berambut panjang yang bergelayut manja di lengan Afrian.

***

Gilang dan Devina pun memilih duduk di meja kantin yang menghadap ke arah lapangan.

"Lo mau apa, Na? Biar gue yang pesan sekaligus nanti gue bayarin. Ya itung-itung buat balas budi ke lo karena tempo hari gue kenyang makan nasi goreng buatan lo yang enak banget,"

Devina mengertnyit heran melihat tingkah Gilang yang tidak biasa kepadanya, "Tumben baik? Pagi ini lo nggak salah makan kan?"

"Prasangka buruk mulu lo bawaannya. Dosa tau, Na. Jadi, Nona Banana yang cantik, anda pesan apa?" Elak Gilang dengan mimik wajah yang dibuat-buat seolah-olah ia adalah laki-laki setengah jadi alias banci.

Devina tertawa melihat ekspresi Gilang yang tidak biasa menurutnya.

"Haha. Muka lo, muka lo najis banget, Lang. Gue samain aja sama lo,"

"Siap Nona, pesanan anda akan segera tiba," Ucap Gilang masih dengan gayanya yang sebelumnya.

Devina masih tertawa lebar, sesekali ia melemparkan tissue yang baru saja di pakainya dan sontak saja membuat Gilang mendengus kesal, "Banana! Jorok banget sih jadi cewek,"

"Yee lagian lo bercanda mulu. Udah ah, sana buruan. Keburu kelaparan gue entar. Berangkat sekarang atau gue lempar lagi nih," Ucap Devina sambil mengambil sebuah tissue di meja kantin kemudian berpura-pura mengusapkannya di hidung dengan gaya yang tidak biasa.

Melihat gelagat Devina yang mencurigakan, Gilang pun segera pergi memesan makanan sambil mencibir pelan.

Tidak lama kemudian, seorang anak laki-laki datang ke meja Devina. Devina tidak melihat wajahnya karena dirinya sedang bermain dengan ponselnya, tapi yang jelas ia tahu ini adalah aroma khas para lelaki.

"Kok cepet, Lang? Ngerebut antrian orang lo ya? Bener-bener lo Lang. Mantabbb," Ujar Devina masih fokus kepada ponselnya tanpa repot-repot menoleh pada laki-laki yang ia kira Gilang.

"Lo pesan bakso ya, Lang? Pakek sayur nggak? Kalo iya, nanti sayurnya lo yang makan ya. Gue nggak suka sayur soalnya,"

"Kebiasaan jelek, susah banget dihilangin,"

Devina mengernyit. Jelas ini bukan suara Gilang, Devina mendongak hendak melihat siapa yang datang ke mejanya, "Eh sorry, lo bukan Gi-"

"Afrian?" Devina bergumam pelan. Devina menatap Afrian dengan berbinar, sedangkan yang ditatap hanya menatap balik datar Devina. Sesekali Afrian membuang mukanya ke arah lain agar tidak beradu tatap dengan Devina.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang