[39] Awal Puncak Pengakhiran

111 4 0
                                    

11 Oktober 2018

Headline news today: Keluarga Revan Prameswara resmi dinyatakan bangkrut. Seluruh aset perusahaan yang masih tersisa beserta rumah dengan segala fasilitasnya resmi disita bank untuk melunasi hutang perusahaan beserta gaji akhir para karyawan.

Revan mengusap kasar wajahnya begitu membaca berita online pada layar ponselnya. Semuanya habis tak bersisa. Seluruh tabungannya ludes untuk menutupi gaji akhir karyawan. Bahkan sekarang ia bingung mencari tempat berteduh untuk anak dan istrinya.

"Pa kita mau tinggal dimana?" Tanya Raline dengan wajah yang sama frustasinya dengan Revan.

Sedangkan Devan terduduk lemas dilantai. Terus-terusan ia menyalahkan dirinya sendiri karena sama sekali tak bisa berkontribusi apapun untuk keluarganya. Bahkan satu rupiah pun ia tidak memilikinya.

Untungnya ia masih bisa membayar uang kuliahnya dari gaji yang selama ini ia peroleh dari bekerja di kafe. Meski ia sendiri juga bingung, ia hanya bekerja sebagai karyawan paruh waktu di kafe itu, tapi entah mengapa gajinya lumayan besar, bahkan cukup untuk membayar uang kuliahnya.

Tidak lama kemudian, deru mobil terdengar berhenti tepat di depan pagar rumah mereka. Seorang gadis berambut pendek masuk dengan wajahnya yang sedikit pucat.

Melihat adiknya pulang, entah mengapa ada sesuatu dalam diri Devan yang membuncah marah. Ia tersulut emosi karena adiknya itu sudah satu minggu tidak pulang ke rumah disaat kondisi keluarganya sedang terpuruk.

"Ini kena----"

Belum sempat Devina menyelesaikan kalimatnya. Tangan Devan sudah terlebih dahulu melayang keras menampar pipi Devina.

"BARU PULANG LO?!!! DARI MANA AJA? MASIH INGET RUMAH, HAH?!! KITA SEMUA DISINI SEDANG KESUSAHAN, SEDANGKAN LO ENAK-ENAKAN DILUAR. NGGAK TAU DIUNTUNG EMANG!!!" Maki Devan pda Devina dengan emosi yang berkibar.

"HARUSNYA DULU----"

"Aku yang mati, bukan Dea? Itu kan yang mau abang bilang? Asal abang tau, aku juga nyesel hidup begini. Seandainya bisa, aku mau tukar nyawa sama Dea." Ujar Devina lirih.

Devan menyeringai menatap Devina yang sudah bersimbah air mata.

"IYA HARUSNYA TUH LO YANG MATI."

Tepat setelah Devan menyelesaikan kalimat bentakannya untuk Devina, cowok itu langsung tersungkur dengan bibirnya yang sobek akibat bogeman dari Lingga

Lingga yang sudah kepalang emosi meludah tepat disamping tubuh Devan yang tergeletak ditanah.

"Dasar sampah. Brengsek. Bajingan semacam lo gini tuh nggak pantes hidup di dunia. Tapi pantes jadi penghuni tetap neraka!!!!" Maki Lingga.

Devan tersenyum miring, "Wah... wah.. wah.. Udah punya bodyguard rupanya. Dibayar berapa lo sama dia? Oh gue tahu, udah diservis berapa malam lo sama pecun itu?"

"BANGSAT JAGA UCAPAN LO!!!" Lingga berteriak marah.

Ia ingin maju sekali lagi, memberi pembalasan telak atas tamparan yang Devan layangkan pada Devina. Namun sayang sekali, Devina menghentikan langkahnya.

Dengan wajah pucat dan air mata yang menggenang di sudut matanya, Devina menggeleng. "Udah Ga, dia abang gue."

Lingga tertawa meremehkan namun matanya tetap menyorot tajam pada Devan. "Liat dia! Dee bahkan masih nganggap lo sebagai abang, brengsek!!!"

"Lingga udah! Lo boleh pulang sekarang. Gue bisa atasin sendiri. Makasih karena udah bantuin gue." Ujar Devina mendorong mundur Lingga.

Devina mengusap pelan kedua sudut matanya. Setegar mungkin ia berusaha menghadirkan kembali sebuah senyum setulus hati meski sedikit perih.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang