Devina sudah diizinkan untuk pulang sejak dua hari yang lalu. Keadaannya semakin membaik. Meski begitu, ia tetap harus rutin datang ke rumah sakit seminggu sekali untuk menjalani kemotrapi.
"Dek mau makan bareng di bawah, atau Kakak bawain makanannya ke kamarmu?" Ujar Devan.
Laki-laki itu tampak lebih baik sekarang. Ia menjadi orang yang paling siaga menjaga Devina.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Devan, Devina membuka pintu kamarnya kemudian melangkahkan kakinya menuju meja makan dengan kedua orang tuanya.
Melihat kehadiran sang anak, Ana bangkit dari tempat duduknya berniat mengambilkan beberapa jenis makanan untuk Devina. "Biar Mama siapkan ya? Kamu mau makan apa sayang? Nasinya segini cukup nggak?"
Alih-alih menyambutnya dengan bahagia, Devina malah menggelengkan kepalanya datar, ia lebih memilih mengambil makanannya sendiri, menghiraukan raut wajah orang-orang disekitarnya yang mendadak berubah sendu.
Suasana meja makan kini tampak hangat karena pada akhirnya keluarga itu bisa kembali menikmati sarapan dengan lengkap.
Namun dalam hati, diam-diam Devina tersenyum remeh, jika dulu, ia mungkin begitu menginginkan suasana seperti ini terjadi. Lucunya, Devina malah merasa begitu muak sekarang.
"Saya mau sekolah."
Celetukan Devina mengundang perhatian dari keluarganya. Sejak sadar dari komanya, Devina memang lebih sering menggunakan bahasa formal kepada keluarganya, layaknya orang asing. SIkapnya pun berubah menjadi dingin, seolah sosok Devina yang hangat, manja, dan penuh senyuman telah lenyap.
"Apa nggak sebaiknya kamu istirahat di rumah dulu sayang? Lagi pula wajahmu masih pucat? Mama juga udah izin ke sekolahmu."
Devina mengendikkan bahunya tidak peduli, "And i dont fucking care about that!" Ujar Devina mengakhiri obrolan bersama keluarganya dengan tidak menyenangkan.
Sejenak kemudian, gadis itu mengambil ponselnya, membuka beberapa pesan dari temannya yang mengatakan khawatir akan keadannya. Devina hanya mendecih, ia sama sekali tidak peduli, lagi pula apalagi tujuannya untuk hidup di dunia ini selain mati?
***
Tidak terasa, matahari sudah meninggalkan bumi sejak setengah jam lalu. Langit kini sudah berganti pasangan dengan bulan, yang meski tidak seterang surya, tapi sinarnya cukup untuk menghindarkan bumi dari kegelapan yang mencekam.
Devina menarik selimutnya ke ujung kepala begitu mendengar pintu kamarnya di buka. Entah mengapa rasanya Devina ingin sejenak menghindar dari semua hal yang memberatkannya.
Setelah berkali-kali berjuang dan dipatahkan, ada satu titik dimana tujuannya untuk mencapai kemenangan perlahan memudar. Hasrat itu lenyap seketika titik terang berada dalam jarak satu kedipan matanya. Gairah hidupnya seolah padam, ia tak menginginkan apapun selain menghilang dan tak ingin ditemukan.
"Dek, makan yuk? Papa sama Mama udah nungguin di bawah." Ujar Devan pada gundukan selimut yang menutupi tubuh kecil Devina.
Namun sama sekali tak ada jawaban. Hening ternyata lebih mendominasi suasana antara dua kakak beradik itu sekarang.
Helaan nafas seketika muncul dari Devan yang raut wajahnya mendadak pias, "Dee, Kakak tahu kamu nggak tidur, kan?"
Merasa tak ada tanda-tanda Devina akan membalas ucapannya, Devan mengambil tempat untuk duduk di ranjang adiknya. Perlahan, ia tarik selimut yang menutupi tubuh Devina, hingga menampilkan wajah adiknya yang terlihat memerah dengan air mata yang mengalir di pipinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...