[40] A. (Bukan) Akhir

112 12 2
                                    

12 Oktober 2018, 06:35 AM

Setelah memakai rapi seragamnya, Afrian bergegas turun menuju makan yang beberapa hari ini selalu menciptakan atmosfer hangat di keluarganya.

Afrian sendiri sebenarnya juga bingung, tanpa ada hujan badai, kedua orang tuanya tiba-tiba akur dan kembali tinggal bersama dalam satu rumah. Namun lebih dari itu Afrian bersyukur, terima kasih sedalam-dalamnya ingin ia ucapkan pada siapapun yang telah mempersatukan kembali keluarganya yang hampir pecah.

"Yan gue nebeng dong ke sekolah. Ban motor gue bocor, mobil masih dibengkel. Lo kan pake mobil."

Afrian mengatupkan rahangnya kesal. Saudara kembarnya ini selalu saja bisa merusak moodnya.

"Biasa juga sama Mama. Gue sibuk." Afrian berucap malas.

"Afri!" Tegur Wira. Ia tahu kedua anaknya masih belum bisa saling mengakrabkan diri kembali setelah beberapa lama terpisah. Untuk itu Wira beranggapan, mungkin ini adalah waktu yang tepat agar kedua anaknya bisa menciptakan momen kebersamaan.

"Kebetulan hari ini Mama ke sekolah agak siang. Iyan berangkat bareng aja sama Gilang. Iyan mau kan?"

"Yaudah iya! Cepetan berangkat, keburu telat!"

Afrian mendengus kesal. Jika bukan Mamanya yang meminta, ia pasti sudah membuang Gilang jauh-jauh ke laut. Afrian bersumpah, ia tidak bermaksud durhaka pada Gilang. Hanya saja Afrian tahu, Gilang itu tipe orang yang selalu ada udang dibalik batu.

Setelah masuk ke dalam mobil Afrian, tanpa permisi Gilang menghidupkan radio dan memilih channel yang berisi lagu-lagi mellow  yang jelas dibenci Afrian.

Lihat saja, belum ada lima menit lagu Pemeran Utama milik Raisa terputar, Afrian dengan tangkas mengganti channel radio menjadi lagu-lagu beraliran metalica kesukaannya. Namun jelas bukan Gilang namanya jika mengalah begitu saja.

Dengan jahil Gilang berusaha menggoda Afrian hingga kembarannya itu lelah dan memilih mengalah seperti biasa.

"Nggak asyik lo. Gitu aja marah. Cemen." Hardik Gilang.

Afrian tentu tidak akan menanggapinya. Untuk itu Gilang mengeluarkan sebungkus permen dari sakunya. "Gitu aja ngambek. Nih gue kasih permen biar nggak cemberut terus tuh mulut mau nyaingin bebek peliharaan Mang Dadang lo?"

Kesal karena Afrian tidak kunjung menggubrisnya, Gilang akhirnya berinisiatif menaruh permen itu pada kantong celana Afrian.

"Heh mau ngapain lo grepe-grepe? Gue masih normal." Protes Afrian setengah menghindar pada Gilang yang masih kekeh berusaha memasukkan permen ke dalam kantong celana Afrian. Namun tentu saja tidak bisa, karena Afrian tengah menyetir maka mau tidak mau Afrian harus fokus ke jalanan demi keselamatan.

"Tibang gitu doang susah amat. Jangan lupa tuh dimakan permennya biar muka lo kagak surem macam badak beranak satu." Ucap Gilang terselip nada mengejek.

Afrian hanya diam sama sekali tidak berniat menanggapi ocehan absurd Gilang.

"Turun lo!" Ketus Afrian.

Gilang menatapnya dengan wajah memelas. "Lo tega amat nurunin gue gitu aja? Nebeng dong Yan, sampai depan gerbang gue turun deh nggak apa-apa."

"Turun sekarang!" Afrian mengulang perkataannya dengan galak membuat nyali Gilang untuk merengek semakin menciur. "Udah sampai parkiran bego. Lo mau diem aja mobil, terus gue kunciin biar koit sekalian?"

Sadar akan hal itu, Gilang memandang ke luar jendela. Ternyata benar, mobil Afrian sudah terparkir di area sekolahan. Sesegera mungkin Gilang nyengir untuk menyembunyikan rasa malu. "Udah sampai. Gue turun duluan yak."

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang