[21] B. Mereka (Bukan) Teman-ku?

96 6 0
                                    

"Rasakan. Biarkan air matamu luruh menjadi satu dengan tetes-tetes hujan yang berjatuhan. Kau harus bertahan. Sebab semesta akan selalu tertawa melihatmu terkulai lemah karena luka."

____________________________________

"YUHUUUUU, DEVINA BANANA. I'M COMING."

Devina tersentak ketika mendengar suara Gilang yang memenuhi ruangan.

"Karet Gelang. Bisa diem ga sih. Berisik tau! Lo ngapain kesini?"

Gilang menatap Devina tajam, "Suka-suka gue dong. Sebagai cucu pemilik sekolah, gue punya hak keliling untuk mengontrol kondisi sekolah. Paham?"

Devina berdecak kesal, ia kembali melanjutkan menuliskan tugas Hera, berusaha tidak mempedulikan Gilang yang kini mengambil sebuah kursi untuk duduk tepat di sampingnya.

"Halo, nona Banana. What are you doing?"

Devina tertawa, "Heleh, makan tahu tempe aja lo belagu amat segala ngomong pake bahasa inggris."

Gilang tidak menjawab ledekan dari Devina, ia sibuk memperhatikan tugas yang ditulis Devina dengan seksama.

"Na, ini sama ini kok beda?" Tanya Gilang menunjuk tulisan yang ada di sisi kanan dan di sisi kiri buku tulis.

"Ya iyalah beda. Orang yang nulis juga beda. Lo bego apa tolol sih?"

Tanpa sengaja, mata Gilang menatap sebuah buku yang tergeletak di meja sisi kiri Devina. Buku itu bersampul putih dan tertulis nama Devina Sabrina Elfaza kelas XI IPA -4, bisa Gilang tebak bahwa buku itu adalah buku sejarah. Karena di kelasnya pun, guru sejarah mewajibkan agar menyampuli bukunya dengan warna putih.

"Lagi ngerjain tugas apa?" Tanya Gilang sengaja berbasa-basi.

Devina menjawab dengan singkat pertanyaan Gilang, "Sejarah. Kenapa? Mau bantu?"

Gilang tidak menjawab, namun tangannya merebut paksa buku itu dari Devina, membuat Devina mengeram kesal karena tulisannya menjadi berantakan atas ulah Gilang.

"Karet Gelang!!! Lo tuh apa sih, sini balikin."

Gilang menutup buku itu hingga cover bagian depan buku terlihat dengan jelas. Disana tertulis nama Heramanda Kurnia Raditama. Gilang mengeram kesal, kemudian melemparkan buku itu ke lantai dengan asal.

"Lang! Lo itu apa-apaan sih!"

"Oh jadi selain sok ramah, lo itu sok baik juga ya ternyata. Gue bisa tebak kalau sekarang orang yang punya buku itu lagi enak-enak makan di kantin. Sedangkan lo? Mirip babu."

Devina menoyor kepala Gilang, ia tidak terima dengan ucapan pedas yang terlontar dari bibir Gilang.

"Sembarangan ya, itu mulut di jaga napah. Yaudah sih, yang nulis gue ini, kenapa jadi lo yang repot, tai kuda. Lagian niat gue baik bantuin dia, gue ikhlas lahir batin."

"Bego!" Umpat Gilang lirih.
Namun tiba-tiba saja, senyum lebar terkembang di wajahnya, tampaknya ia menemukan sebuah ide cemerlang untuk membalas teman Devina yang bernama Hera itu.

Devina kembali fokus melanjutkan tugas Hera yang sempat tertunda karena ulah Gilang. Saking fokusnya, ia sampai tidak menyadari bahwa tas Hera kini telah berpindah tempat menggantung tepat di bawah foto wakil presiden Indonesia atas ulah Gilang.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang