[17] Mari Bermain

138 6 0
                                    

"Mari kita berproses dengan waktu. Kemudian berdamai dengan masa lalu. Melepaskan diri dari jerat-jerat penyesalan yang membelenggu."

____________________________________


Suasana pagi yang cukup cerah. Sinar matahari menerobos melalui celah-celah jendela rumah Devina yang masih nampak sepi, hanya terlihat Devan yang tengah duduk sendirian di ruang makan.

Devan duduk dengan tenang sembari menyapukan pandangannya mengamati keadaan sekeliling rumahnya yang sepi. Kini, keluarganya sudah tidak utuh lagi setelah kepergian Deandra, adik bungsunya.

Papa dan Mamanya semakin sibuk bekerja untuk menghibur diri semenjak kematian Deandra, juga dengan dirinya yang masih tenggelam dalam kobaran api dendam dan sibuk menyalahkan Devina atas kematian Deandra.

Devan mengepalkan tangannya kuat ketika ingatan kembali membawanya pada kenangan pahit yang terjadi sekitar dua tahun lalu.

Keadaan mendadak menjadi gaduh ketika telepon rumah berdering mengabarkan bahwa Deandra mengalami kecelakaan. Seluruh penghuni rumah panik dan segera bergegas pergi ke rumah sakit.

Devan mengacak rambutnya frustasi. Deandra adalah adik kecilnya yang rapuh, maka dari itu Devan menaruh perhatian yang lebih kepada Deandra. Bukan bearti Devan tidak menyayangi Devina. Hanya saja, saat ini Deandra membutuhkan perhatian lebih darinya dibanding Devina yang bahkan sebenarnya lebih rapuh dari Deandra. Tentang rahasia yang selama ini Devina simpan sendirian tanpa berani berbicara pada satupun anggota keluarganya. Papa dan Mamanya terlihat gelisah memikirkan Dea yang kini masih berada dalam ruang UGD.

Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruang UGD.

"Bagaimana keadaan anak saya dokter?" Tanya Mama Devina.

"Anak Ibu dan Bapak sedang dalam keadaan kritis dan kekurangan banyak darah. Golongan darah anak Ibu dan Bapak sangat langka dan susah untuk di dapatkan, kebetulan stok darah seperti itu di rumah sakit ini dan beberapa rumah sakit lainnya sedang kosong. Apakah ada diantara keluarga Bapak yang memiliki golongan darah sama dengan pasien?"

Mereka terdiam karena tidak ada satupun diantara mereka yang golongan darahnya sama seperti Deandra. Kemudian Devan teringat pada ucapan Deandra beberapa bulan lalu bahwa golongan darah Deandra dan Devina sama.

Devan menghampiri Devina yang duduk di kursi tunggu rumah sakit. Wajahnya terlihat pucat, namun Devan menghiraukannya, karena menurutnya yang paling penting untuk saat ini adalah keselamatan Deandra.

"Dee? Hidup Deandra ada di tangan kamu. Kakak mohon, donorin darah kamu untuk Deandra."

Devina menoleh pada Devan yang memohon padanya, wajah Devina berubah pias saat mendengar permohonan Kakaknya.

"Dee nggak bisa,"

Semua orang yang berada di sana terperangah mendengar jawaban dari Devina.

"Dee, Mama mohon aku mohon sama kamu. Sekali ini aja, kamu bantu kami, Dee." Kini giliran Mamanya yang membujuk Devina.

Raut wajah Devina semakin keruh, lalu untuk hari-hari kemarin itu mereka anggap apa? Tentang Devina yang selalu dianak tirikan, seolah-olah diantara mereka hanya ada Deandra.

"Dee! Tolong jangan egois! Ini demi keselamatan Deandra, adik kamu!"

Devina mendecih perlahan. Ia sudah muak dengan semuanya! Pengorbanannya selama ini sama sekali tidak ada harganya dihadapan keluarganya.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang