"Kau adalah, yang terindah,"
"Yang membuat hatiku tenang,"
"Mencintai kamu, takkan pernah takut,"
"Sebab kau terima segala kekuranganku,"
Devina bersenandung kecil di depan kompornya. Entah mengapa hari ini ia begitu ingin membuatkan Afrian bekal. Sebenarnya Devina tahu, nasib bekal buatannya tidak pernah bahagia, mirip seperti dirinya. Terbuang bahkan selalu tersisihkan. Namun Devina tidak pernah menyerah begitu saja. Devina akan mencoba kembali mendekati Afrian, setidaknya dengan cara ini Devina berharap Afrian bisa sedikit saja bersimpati kepada dirinya.
"Masak apa non?" Ucap seorang wanita paruh baya dengan sopan kepada Devina.
Devina tersenyum lebar kepada Bi Inah, asisten rumah tangga yang telah bekerja di rumahnya sejak Devina masih kecil. Wanita ini sudah Devina anggap seperti mamanya sendiri. Devina sangat menyayangi Bi Inah, begitupun sebaliknya, Bi Inah juga sangat menyayangi Devina selayaknya anak kandungnya sendiri.
"Oh ini Bi, masak nasi goreng sama telur dadar. Bibi pagi ini nggak usah masak ya, soalnya Devina masak agak banyak. Lagipula ini juga makanan kesukaannya Papa sama Kak Devan,"
Bi Inah tersenyum mendengar penuturan majikan kecilnya itu. Sebenarnya Bi Inah tidak tega mengatakan hal ini kepada Devina, namun bagaimana lagi. Mau tidak mau Bi Inah harus mengatakannya pada Devina, agar gadis remaja itu tidak terlalu sakit hati nantinya, "Tapi non, apa nggak sebaiknya saya masak saja untuk berjaga-jaga, takutnya-"
"Bi Inah benar," Devina menyahuti ucapan Bi Inah dengan cepat karena sudah tahu apa kelanjutannya.
Devina mengela napasnya perlahan, cengiran lebarnya kini menghilang tergantikan sebuah senyuman yang dipaksakan, "Kalau begitu, Bi Inah masak aja buat jaga-jaga. Biar Devina siapin masakan Devina di meja makan dulu Bi, siapa tahu ada keajaiban gitu. Hehe,"
Bi Inah tersenyum penuh rasa bersalah melihat raut wajah Devina yang tiba-tiba berubah menjadi pemurung.
"Yaudah Bi, itu makanannya udah Dee tata di meja. Kalau gitu, sekarang Dee pamit berangkat sekolah dulu ya Bi Inah," Ucap Devina sambil memasukkan dua kotak bekal ke dalam tasnya. Satu untuk Devina, satu untuk Afrian.
Devina kembali tersenyum kecil mengingat Afrian, laki-laki itu selalu saja bisa mengubah suasana hati Devina. Sepertinya Afrian sudah sepenuhnya memegang kendali hati Devina. Lihat saja, dalam sekejap Afrian bisa membuat Devina tertawa, namun terkadang beberapa detik kemudian Devina bisa saja menangis karena Afrian.
***
Sekolah masih tampak sepi, wajar saja waktu saat ini masih menunjukkan pukul enam lebih lima menit. Rata-rata siswa di sekolah ini berangkat ke sekolah beberapa menit sebelum bel berbunyi. Kali ini Devina sengaja berangkat lebih pagi untuk meletakkan kotak bekalnya itu di bangku Afrian. Sebenarnya Devina bisa saja memberikannya langsung kepada Afrian, tapi Devina tidak mau ambil resiko jika saja Afrian tidak mau menerimanya dan hal itu jelas akan sangat memalukan.
Devina berjalan perlahan memasuki ruang kelas Afrian berharap ruang kelas itu kosong, belum ada yang datang. Devina menghembuskan nafasnya lega mendapati kelas Afrian masih sepi.
Devina menatap malas pada guru sejarah yang sedang bercerita panjang lebar di depan sambil sesekali menulis di papan tulis.
Semua siswa di kelasnya pun keadaannya tidak jauh berbeda dengan Devina, bahkan ada beberapa diantaranya yang terang-terangan menyandarkan kepalanya di atas meja dengan mata terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...