[10] Sesal

148 7 0
                                    

Devina membuka pintu rumahnya perlahan. Rumah ini selalu terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan apapun di dalamnya. Devina melangkah dalam diam. Di setiap langkahnya, selalu terbesit rasa bersalah yang menghimpit dada Devina, sehingga sesak selalu menemani Devina.

Devina memejamkan matanya, mencoba merasakan kehangatan yang dulu selalu tercipta dalam keluarga ini. Keluarganya yang harmonis, keluarganya yang hangat, keluarganya yang selalu menjadi tempat Devina untuk pulang setelah lelah menjalani aktifitasnya di luar rumah. Namun kini semuanya hanya tinggal kenangan.

Tidak lama kemudian terdengar suara pintu utama rumah Devina terbuka. Seorang laki-laki memakai kemeja berwarna hitan dengan celana jeans panjang tampak memasuki rumah dengan tas punggung yang hanya ia selempangkan di bahu sebelah kanan.

Devina menoleh sambil tersenyum, berusaha memberikan sambutan hangat untuk Kakaknya yang jarang sekali berada dirumah karena kesibukan kuliah, "Kak Devan baru pulang?" Devan sama sekali tidak menghiraukan Devina. Ia terus saja berjalan melangkahkan kakinya melewati adiknya begitu saja, seolah-olah Devina hanyalah sebuah benda yang tidak bernyawa. "Kak?" Ulang Devina, suaranya berubah parau.

"KAK DEVAN?!" Seru Devina, kali ini suaranya terdengar lebih keras dan berhasil membuat Devan menghentikan langkahnya kemudian berbalik menghadap Devina. Sudah cukup. Devina sudah tidak betah melihat keluarganya yang terpecah belah.

Devan menaikkan sebelah alisnya seolah menunggu Devina melanjutkan kalimatnya.

"......"

Devan menatap jam tangannya jengah, "Buang-buang waktu aja sih lo," Devan kembali berbalik melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda karena seruan Devina.

Sedangkan Devina masih tetap terdiam kaku di tempatnya. Lidahnya terasa keluh. Mendadak Devina seperti kehilangan segala kalimatnya ketika bertatapan muka langsung dengan Devan.

Tidak. Devina sama sekali tidak takut kepada Devan. Bahkan jika Devina mau, Devina mampu membentak Devan. Hanya saja kali ini ketika Devan benar-benar berada di hadapannya. Rasanya Devina tidak ingin membuang-buang kesempatan untuk memandangi wajah kakaknya yang selama ini ia rindukan.

"Gue kangen lo. Gue kangen Papa, Mama. Gue kangen.... Dea," Ujar Devina dengan suara yang semakin lirih di akhir kalimatnya. "Gue nyesel," Lanjutnya.

Devan menghentikan langkahnya. Devan kini berdiri di tengah-tengah tangga, sembari mengepalkan kedua tangannya, "Nyesel lo bilang? Lo nggak pantes bilang gitu setelah lo hancurin keluarga gue macam gini."

"Dan..... kangen? Lo boleh bilang kangen kalau lo bisa balikin keluarga ini jadi utuh lagi kayak dulu," Setelah menyelesaikan kalimatnya, Devan langsung bergegas menuju kamarnya meninggalkan Devina yang menangis tersedu-sedu di ruang keluarga yang berada di lantai bawah.

***

Afrian menatap miris sebuah jaket berwarna abu-abu muda yang tergantung manis di lemarinya. Jaket itu adalah satu-satunya benda yang menjadi saksi bisu kenangan terindah dirinya dengan gadis itu.

Afrian menyentuhnya perlahan, mencoba merasakan barangkali masih ada sisa-sisa kebahagiaan yang tertinggal. Namun nihil, Afrian tidak bisa merasakan apapun, yang ada hanyalah perasaan bersalah yang menyelimutinya. Sadar bahwa apa yang ia lakukan ini tidak ada gunanya, Afrian kembali menutup pintu lemarinya. Afrian merebahkan dirinya di atas ranjang, sembari sesekali memejamkan matanya sekedar untuk melepas lelah.

***

"Gimana? Berhasil kagak lo?" Tanya seorang wanita yang tampak duduk diatas kursi bar, tapi suaranya tidak terdengar begitu jelas karena beriringan dengan suara musik yang menghentak keras.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang