[18] A. Memohon pada Harapan Kosong

147 7 0
                                    

"Sekali ini saja aku ingin mendapat perhatian darimu. Tidak terlalu banyak, hanya secuil perhatian saja, apa itu salah?"

____________________________________


Devina baru saja membuka matanya. Kepalanya terasa berat, tangannya masih terasa sakit setelah insiden kemarin.

Devina hidup dengan keluarganya, tapi ia seperti sebatang kara. Meskipun kedua orang tua Devina selalu rutin mentransferkan sejumlah uang, tapi sama sekali Devina tidak pernah memakainya barang sepeser pun. Uang itu aman tersimpan, karena selama ini Devina selalu menggunakan uang hasil kerja kerasnya bersama Lingga dan Rezka. Bahkan sejauh ini, Devina juga berhasil menginvestasikan uangnya dari hasil bekerja dengan mendirikan sebuah kafe yang biasa digunakan sebagai tempat untuk bertemu dengan klien-klien nya.

Devina meregangkan tubuhnya yang terasa seperti hampir patah. Bahkan luka bekas goresan paku kemarin pun masih belum kering sepenuhnya. Devina enggan mengobatinya, karena menurutnya luka pada lengannya itu tidak separah luka hatinya. Devina bangkit dari tempat tidurnya, ia berjalan gontai menuju kamar mandi, sekedar untuk membasuh wajahnya yang sangat pucat bagaikan mayat. Memprihatinkan.

Drrtttt. Drrrtt. Drrrttttt

Devina meraih ponselnya yang bergetar berkali-kali, beberapa pesan masuk kedalam ponselnya. Devina tersenyum, saking banyaknya pesan yang masuk ke dalam ponselnya, dirinya juga sedikit berharap semoga saja salah satu dari pesan itu, pengirimnya adalah dia. Afrian.

Mandi Janda Kembang (3) 08.15
Lingga : Mane ni anak perawan.....

Fransisca Caramel 07.05
Dee, lo hari ini nggak masuk sek....

Nadya Paramitha 06.30
Tugas kelompok kita gmn?
Mama 04.30
1 panggilan tak terjawab

Gilang Kusuma 23.45
Get well really soon, Na:)

Girl'squad (4) 22.05
Hera : Bobo dulu gengs...

Senyum Devina mendadak luntur, ketika sama sekali tak ia temui satupun pesan dari orang yang ia harapkan.

Tanpa berniat basa-basi lagi, Devina memutuskan untuk mengirimkan pesan pada orang yang selalu ia pikirkan sejak tadi pagi ia membuka mata. Ya, Afrian.

Affrian Wiranata
Online

Devina Sabrinae : Gue kangen lo [Read]

Devina tersenyum miris ketika melihat pesannya yang baru saja terkirim langsung dibaca oleh Afrian. Hanya dibaca, karena Devina tau sampai kapanpun Afrian tidak akan pernah membalas pesannya. Semuanya berubah. Dunianya berbeda. Tak ada lagi warna-warna bahagia. Mau tidak mau, suka ataupun tidak, Devina harus menerima segala takdir yang tertulis untuknya.

Karena ada satu hal yang benar-benar Devina percaya. Bahwa ada kilauan bintang yang bersinar dibalik gelapnya malam. Juga selalu datang pelangi setelah hujan reda. Begitu pun dengan hidupnya, pasti ada bahagia setelah cobaan datang menerpa.

Karena takdir Tuhan benar-benar nyata. Kita tidak akan bisa melawannya barang sekalipun.

Sekejap kemudian mata Devina berbinar ketika menatap sebuah panggilan tak terjawab dari Mamanya, setelah sekian lama, beliau menghindar dari Devina setelah kematian Deandra.

Namun senyum itu mendadak luntur ketika satu pesan masuk ke dalam ponsel Devina.

Mama : Maaf kepencet.

Hati Devina berderit sakit ketika matanya membaca pesan yang baru saja dikirimkan oleh Mamanya. Lagi-lagi harapan itu kosong. Sekalipun Devina memohon, tidak ada satupun dari mereka yang akan datang menolong.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang