Matahari perlahan merangkak naik ke angkasa, menerangi jalanan yang sebelumnya gelap dan hanya mendapat penyinaran seadanya dari lampu-lampu di pinggiran jalan.
Demi mendapat hasil yang sempurna, sejak semalam setelah meninggalkan kafe, Devina, Rezka, dan Lingga sama sekali belum beristirahat untuk menyelesaikan mega proyek mereka. Bayaran yang akan mereka peroleh jika berhasil menyelesaikan proyek ini sungguh tidak main-main nominalnya, maka dari itu mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan itu tepat waktu.
"Are you okay?"
Devina melemparkan senyum tipis kepada Rezka yang kini tengah menatapnya khawatir.
"Dee, lo kalau mau istirahat, duluan aja nggak papa. Biar gue sama Rezka yang selesaikan." Kini giliran Lingga yang berbicara.
Devina menggeleng, bagaimanapun juga, pekerjaan ini juga merupakan tanggung jawabnya, ia tidak bisa seenaknya saja lepas tangan. Lagi pula, bayaran yang mereka peroleh selalu dibagi rata. Jadi bagaimanapun caranya, Devina akan bekerja keras agar usahanya selalu sebanding dengan bayaran yang ia dapatkan.
Namun tidak lama kemudian, Devina merasakan kepalanya seperti diputar-putar, seluruh tubuhnya berkeringat, juga terasa lemas. Devina melipat tangannya diatas meja, kemudian meletakkan kepalanya diatasnya. Sekedar memejamkan mata, mungkin bisa mengurangi rasa pusing yang menderanya sekarang.
"Dee?" Panggil Lingga pelan.
"Kenapa? Kalau ada yang lo butuhin ngomong sama gue aja Ngga, kasihan itu anak capek kayaknya." Bukan Devina yang menyahut, namun Rezka lah yang menimpali ucapan Lingga.
Satu jam berlalu, pekerjaan mereka sudah berakhir sejak lima menit yang lalu, keduanya kemudian menatap Devina yang masih menyandarkan kepalanya diatas lipatan kedua tangannya.
"Ka, ini anak orang bangunin dulu. Suruh pindah ke kamar biar nggak pegel." Rezka mengangguk, kemudian menyentuh pelan kepala Devina berniat membangunkannya.
"Dee," Tidak ada jawaban, Rezka sedikit maklum, karena mungkin Devina lelah berjibaku dengan layar komputer beberapa jam lalu.
"Dee." panggil Rezka dengan suara sedikit lebih kencang dari sebelumnya, tapi Devina masih tidak menanggapi suara Rezka.
"Dasar kebo. Siram pakai air aja Ka kalau masih nggak mau bangun," Ucap Lingga.
Rezka melotot, membuat Lingga kicep seketika. Ruang kerja mereka mendadak menjadi sepi dan sunyi.
Hingga kemudian seseorang yang sejak tadi dikhawatirkan pun mengangkat kepalanya, menatap Lingga dan Rezka bingung.
"Lo berdua kena-"
"Darah!!!!"
"Hidung lo, berdarah, Dee." Teriak Lingga panik
***
Afrian memandang kosong bangkunya yang sejak tadi pagi bersih tidak ada satu apapun yang mengotorinya. Tapi entah mengapa Afrian merasa seperti ada yang hilang dari hidupnya.
Afrian menggeleng perlahan. Tidak. Seharusnya tidak begini. Ada yang salah. Tidak seharusnya Afrian merasa ada yang hilang dari dirinya.
Afrian memasang headset di telinganya, kemudian beranjak menuju kantin. Untuk kali ini saja, Afrian ingin melanggar aturan.
Suasana kantin terlihat sepi, hanya ada beberapa anak-anak nakal Afrian yang yakini sedang membolos pelajaran, tidak jauh berbeda seperti dirinya. Afrian memesan satu mangkok bakso, tanpa sayur, tanpa saos, juga tanpa kecap. Afrian hanya menambahkan satu sendok sambal di baksonya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...