[6] B. (Bukan) Penjelasan

171 11 0
                                    

Kini Gilang dan Devina berjalan di koridor yang menghubungkan antara kantin dan kelas mereka,
"Lo bawa motor?"

"Enggak. Tadi pagi gue naik angkot. Nggak tau kenapa motor gue mogok,"

"Nanti pulang sekolah gue anterin deh. Sekalian gue temenin servis motor lo, gue ada kenalan yang jago ngebenerin motor, gimana?" tawar Gilang.

"Eng.. nggak usah deh, Lang. Gue nanti ada ekstra komputer dulu sepulang sekolah,"

Gilang hanya mengedikkan bahunya, "Yaudah gue cuma nawarin. masuk sana, belajar yang bener, jangan bolos terus,"

Gilang sedikit mendorong Devina masuk ke dalam kelasnya membuat gadis itu terjerembab dan hampir jatuh.

"KARET GELANG! RESE LO YA. AWAS AJA LO, PULANG SEKOLAH NANTI GUE BEGAL,"

***

Bel pulang sekolah berbunyi, membangunkan jiwa-jiwa yang sejak tadi terasa hampir mati. Para siswa bergegas membereskan buku-bukunya diatas meja, memasukkannya ke dalam tas, kemudian membawanya pulang. Tidak jauh berbeda dengan Devina, ia ingin segera sampai di rumah dan melepas lelah.

Devina berjalan menuju halte sekolah. Tanpa sengaja matanya menangkap seorang laki-laki yang berseragam sama dengannya tengah bersandar pada dinding halte sambil sesekali melihat jam digital di tangan kanan, sedangkan tangan sebelah kirinya memegang kotak bekal berwarna biru. Sepertinya laki-laki itu tampak menunggu seseorang. Devina mengenalinya, dia adalah Afrian.

Devina senang bukan kepalang. Dalam hati ia bersorak penuh kegembiraan menatap Afrian yang sepertinya tengah menunggu dirinya.

"Afri?" Sapa Devina sumringah. Sedangkan Afrian hanya menolehkan kepalanya dengan angkuh.

"Lo nungguin siapa?"

"Ini punya lo kan? Gue balikin," Ujar Afrian sembari mengulurkan kotak bekal itu kepada Devina.

Devina meraihnya dengan kepala yang menunduk. Ia tidak berani menatap Afrian.

"Lo pacaran sama Gilang?"

Devina menggeleng keras. Bagaimana Afrian bisa berspekulasi seperti itu? Padahal jelas jika selama ini mata Devina hanya tertuju pada satu objek yaitu Afrian.

"Bagus kalo gitu,"

Diam-diam Devina tersenyum mendengar Afrian yang terlihat masih begitu perhatian terhadap dirinya.

"Gue minta maaf," Ucap Afrian lagi.

Devina mengangkat kepalanya perlahan, mencoba menatap Afrian yang beranjak dari tempat duduknya, "Nggak usah dipikirin, gue udah ma-"

Devina menghentikan ucapannya. Hatinya terasa sakit menatap Afrian tampak menggandeng Bella yang berdiri tepat di belakangnya.

Bukan lo, Dee. Bukan. Afrian nggak bakalan ngejelasin apa-apa. Lo tau, buat Afrian, kejadian tadi itu nggak berarti apa-apa buat dia. Dan lagi, dia cuma ngobrol sama pacarnya yang ada di belakang lo, bego.

"Lo mau pulang sekarang? Cepetan naik. Gue anter,"

Setelah Bella menaiki motornya yang terparkir di depan halte, Afrian melajukan motornya membelah jalan raya meninggalkan Devina yang masih terpaku di tempatnya.

Angin sore berhembus perlahan, dengan setia menemani jiwa-jiwa yang merasakan sakitnya dikecewakan oleh harapan. Hari ini. Lagi dan lagi, Devina merasakannya. Hingga detik ini, luka itu masih menganga. Belum sempat Devina menemukan penawarnya, namun kini Devina sudah harus dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit dalam kehidupan.

Nyatanya bukan ini yang Devina inginkan. Ia hanya ingin penjelasan dari Afrian untuk kejadian tadi siang ketika istirahat. Penjelasan tentang Afrian yang tiba-tiba menerbangkannya ke awan dengan sejuta perhatian yang Afrian sampaikan, namun disaat yang bersamaan Afrian dengan senang hati menjatuhkan Devina ke dalam jurang pengharapan terdalam yang terlalu berlebihan.

Devina menegakkan kepalanya. Ia tertawa dalam diam. Lebih tepatnya, Devina tengah menertawakan dirinya sendiri. Miris memang, namun itulah realitanya. Devina hanya hidup bersama luka tanpa ada satupun orang yang mempedulikannya.

"Nih, udah gede masih aja nangis," Ujar seseorang di samping Devina, tangannya terulur guna memberikan sekotak tissue.

Devina menoleh, "Lang,"

"Sssstt. Udah jangan nangis. Gue ngerti perasaan lo," Gilang menghela nafasnya perlahan, "Gue bisa bantu lo," lanjutnya.

Devina mengernyit menunggu Gilang menyelesaikan kalimatnya.

"Gue bisa bantuin lo ngelupain dia, so will you be my girl friend?"

Deg.

Seketika itu juga Devina merasakan dunianya berhenti berputar.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang