Afrian menghempaskan tubuhnya ke arah sofa dengan keras. Menurutnya, hari ini adalah hari yang paling melelahkan. Afrian meraih sebuah buku, tangannya bergerak dengan lincah menggoreskan tinta diatas kertas putihyang sama sekali belum terkotori.
Berpura-pura itu melelahkan
Berpura-pura melupakan, padahal masih kuat dalam ingatan
Berpura-pura bahagia, padahal merasa sengsara
Berpura-pura tidak butuh, padahal masih perlu
Berpura-pura senang, padahal hati ini meradang
Afrian tersenyum miris menatap tulisannya. Selama ini ia hanya pandai merangkai kata-kata, tanpa berani mengungkapkan perasaan terhadap wanita yang selama ini masih bersemayam dalam hatinya. Ralat, bukannya tidak berani, hanya saja Afrian tidak mau mengulang kesalahan menyakitkan yang sama untuk kedua kalinya
***
Kriing. Kriing. Pria ini menatap jam wekernya yang telah berbunyi entah sejak kapan ia tidak tahu. Pukul tujuh puluh, itu artinya kelas akan dimulai tiga puluh menit kemudian. Dengan setengah sadar ia berjalan ke kamar mandi, kemudian membasuh mukanya yang terlihat kusut, rambutnya berantakan, kantung matanya yang menghitam, serta aroma alkohol yang menempel kuat pada kemeja hitam yang dipakainya sejak tadi malam.
Lima belas menit sudah berlalu, ia keluar dari kamar mandi dengan pakaian seragam yang sudah rapi, tas yang hanya disampirkan pada bahu sebelah kiri, dan yang pasti dengan keadaan yang tampak sedikit lebih segar dari pada sebelumnya.
Ia berjalan keluar dari kamarnya, melewati meja makan begitu saja tanpa ada niatan untuk menyapa seseorang yang duduk di meja makan dan tengah menikmati makanannya.
"Den, nggak mau sarapan dulu bareng tuan? Mumpung tuan ada di rumah." suara seorang wanita paruh baya berhasil menghentikan langkah pria itu.
"Nggak usah bi. Saya nggak lapar."
Afrian Putra Wiranata
Laki-laki dingin, tidak suka dinganggu, tanpa ekspresi, tidak terlalu tampan tetapi memiliki dua lesung pipi yang akan langsung terlihat jika ia tersenyum. Sayangnya ia tidak suka tersenyum, ia lebih suka menampilkan wajah datarnya.
Afrian sangat pintar berkamuflase, ia pandai menempatkan dirinya sendiri dalam berbagai situasi. Seperti saat ketika ia berada dalam lingkungan sekolahan, maka ia akan berubah menjadi Afrian yang pendiam. Namun saat berada di luar lingkungan sekolah, Afrian akan langsung mengubah dirinya. Ia akan menjadi Afrian yang nakal, peminum alkohol, dan suka bermain dengan banyak wanita.
Disinilah Afrian berada sekarang, di depan gerbang sekolah yang sudah hampir tertutup seluruhnya. Bagian gerbang yang terbuka hanyalah bersisa satu perempat bagian dari keseluruhan. Afrian menatap jenuh pada kerumunan siswa yang sedang menunggu giliran agar bisa memasuki gerbang. Karena gerbang yang terbuka seperempat bagian itu hanya muat dimasuki oleh satu motor.
Mata Afrian menajam menatap seorang gadis yang sedang menstater motor maticnya, bersiap memasuki gerbang. Senyum Afrian terkembang, dengan cepat ia menyalakan motornya kemudian melajukannya dengan cepat hingga motor sportnya hampir bertabrakan dengan motor matic, membuat sang pemilik motor itu mengeram kesal. Dibalik helmnya, Afrian tersenyum dengan lebar, matanya memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama. "Nggak mau tau ya. Pokoknya ini motor gue duluan yang masuk. Enak aja lo dateng-dateng langsung nyerobot giliran orang."
Raut wajah kesal gadis itu berubah menjadi terkejut ketika Afrian membuka helm dan menatapnya tajam. Gadis itu terdiam sejenak, kemudian mencoba tersenyum semanis mungkin pada Afrian, "Lo masuk duluan aja nggak pa-pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...