Jangan lupa tinggalkan jejak dengan cara vote dan komen ya!
Jika kamu merasa tertarik dengan cerita ini, share juga ke temen-temenmu, ajak mereka baca bareng!
Yo! Selamat membaca! Check this out!
-o0o-
"Papa nggak pernah ngajarin ini sama kamu!" Ujar Wira menatap anaknya dengan sorot mata dingin.
Bahkan Ana yang sejak tadi duduk disamping Wira pun tampak membisu, tak bisa berkata apa-apa melihat anaknya yang ditahan di kantor polisi karena perbuatannya yang sudah masuk dalam ranah kriminal.
"Kamu tahu, orang yang kamu sakitin adalah orang yang berjasa besar terhadap keluarga kita."
"Papa nggak habis pikir kamu berani ngelakuin hal kriminal semacam ini atas nama dendam, Papa sama Mama merasa gagal jadi orang tua yang baik untuk kamu dan Afrian." Lanjut Wira menatap sedih anaknya.
"Ma, Pa, Gilang minta ma--"
Ana menyela ucapan Gilang dengan cepat, "Seberapapun kata maaf yang kamu ucapkan, nggak akan mampu merubah kembali keadaan."
"Udah mas, ayo pulang. Aku nggak suka disini." Ujar Ana mengalihkan perhatian suaminya tanpa sedikitpun menghiraukan Gilang, anaknya.
Wira berdiri mengikuti kemauan istrinya, "Kamu laki-laki, harus bisa bertanggung jawab atas apa yang udah kamu perbuat." Ucapnya sembari menepuk pundak Gilang sebelum benar-benar pergi.
Gilang kini hanya mampu menyesal, rasanya perih ketika melihat orang yang ia sayangi malah membalasnya dengan cara seperti ini.
***
Sunyi. Begitulah kiranya suasana ruang rawat Devina beberapa hari ini. Mereka tidak lagi punya muka untuk berada di dekat Devina.
Sesal. Hanya itu kini yang mampu mendeskripsikan keadaan mereka. Devan bahkan mengutuk dirinya sendiri yang telah membenci Devina. Padahal selama ini tanpa ia sadari, adik perempuan satu-satunya itu selalu ada untuk membantunya.
Hal baru yang ia ketahui adala Azafle's Caffe tempatnya bekerja dengan gaji yang cukup besar untuk membayar uang kuliah ternyata adalah milik Devina... yang terang-terangan selalu ia musuhi.
Lucunya, Devan juga baru menyadari jika nama Azafle pada kafe itu ternyata adalah kebalikan dari Elfaza, nama belakang Devina.
Tidak jauh dengan Devan. Raline dan Revan pun turut merasakan penyesalan mendalam karena telah berlarut-larut dalam duka kematian Dea sehingga menyia-nyiakan Devina.
Lingga, Rezka dan Afrian juga ikut menunggui Devina sejak semalam. Hanya saja, Rezka sedikit menjaga jarak, sebab ia benar-benar tahu jika Lingga membencinya, teramat benci padanya.
Suasana UGD cukup kacau. Banyak dokter dan perawat terus bergantian keluar-masuk ruangan itu. Mereka semua terlihat sama paniknya dengan dengan yang menunggui Devina di luar ruangannya.
Rezka terkesiap ketika matanya tidak sengaja menangkap sesosok pria paruh baya yang amat sangat dikenalinya, lengkap dengan baju dinasnya terlihat sedang berlari panik memasuki ruangan UGD.
Nggak. Nggak. Mustahil. Nggak mungkin Dee. Bisa jadi ada pasien lain di dalam situ 'kan? Batin Lingga mulai bergejolak. Namun sebisa mungkin ia berpikir positif.
Namun semesta malah berkata sebaliknya. Lingga melihat dengan jelas, lelaki paruh baya yang biasa Lingga panggil Papa itu mendekati keluarga Devina. Kakinya runtuh seketika, ia hampir saja terjatuh jika Afrian tidak segera menangkapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...