Semua orang berlari panik menuju ruang rawat Devina. Keadaan begitu kacau, karena goresan pisau yang Devina goreskan pada pergelangan tangannya tepat mengenai pembuluh darah. Ia hampir berakhir kehabisan darah jika saja Devan tidak datang untuk mendonorkan darahnya.
"Tidak ada pilihan lain. Pasien harus mendapatkan perawatan yang lebih intensif karena kabar buruknya, Kanker darah yang ia derita sudah hampir masuk pada stadium akhir. Kami sudah menyiapkan rujukan dan juga rekomendasi rumah sakit terbaik di Jepang jika dan hanya jika keluarga pasien mengizinkan."
"Disamping itu, pasien juga harus dijauhkan sementara dari hal-hal yang membuat traumanya kembali berkali-kali. Disana nanti, kami juga sudah menyiapkan psikolog handal untuk membantu Devina melawan dan menyembuhkan luka batinnya."
"Jadi bagaimana? Apa keluarga pasien menyetujuinya?"
Revan mengangguk dengan cepat. Ia tidak risau mengenai biaya. Semua keluarganya pun bahkan sudah setuju jika mereka kembali hidup melarat demi biaya pengobatan Devina. Ini adalah usaha maksimal terakhir yang bisa mereka lakukan.
"Kalau begitu, bapak silahkan mengikuti saya untuk untuk menandatangani beberapa berkas administrasi yang diperlukan." Tanpa banyak bicara, Revan hanya mengangguk sembari mengikuti langkah dokter itu.
Setelah ini, mereka hanya berharap agar Devina sembuh, bisa kembali berkumpul dan tersenyum seperti sedia kala bersama mereka.
"Sudah cukup Dea, tolong, kali ini jangan Devina." Doa Devan ketika bersujud pada Sang Pemilik alam semesta.
Sedangkan disisi lain....
Lingga masih terus menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja malam itu ia tidak lengah. Jika saja malam itu ia tidak menuruti Devina. Jika saja ia membawa kembali pisau itu kembali. Jika saja... jika saja... dan seluruh pengandaian sia-sia karena waktu tidak bisa kembali diulang.
"Hai... Udah sayang. Kamu nggak salah. Stop nyalahin diri kamu sendiri." Suara Mama Lingga yang lembut menggema di telinganya.
.... mendekap Lingga dengan hangat. Ia mengerti perasaan puteranya. Gadis itu sudah Lingga anggap seperti adik kandungnya. Lingga sudah pasti terguncang setelah menatap secara langsung kondisi Devina yang bersimbah darah.
"T-tapi, ma..."
"Ssst. Udah. Mama dan Papa janji akan menanggung semua biaya pengobatan Devina sampai sembuh. Tugasmu sekarang adalah jadi kakak yang baik untuk adikmu. Lanjutkan hidupmu, bikin dia bangga. Mama yakin, Devina pasti sudah mewanti Lingga untuk hidup dengan baik kan?"
Mama Lingga melepaskan pelukannya. Tangannya bergerak mengusap air mata Lingga dengan penuh kasih sayang. "Maka sekarang adalah waktunya. Kamu harus bisa buktiin itu. Jika bukan untuk Papa dan Mama, setidaknya, lakukan itu untuk adikmu di alam sana, dan juga adikmu yang lain, Devina."
Lingga mengangguk pelan. Setidaknya, ia masih harus menepati janjinya, kan?
***
Empat tahun kemudian....
"Kamu yakin mau kembali?" Tanya Viona pada gadis yang sudah duduk manis di meja makan sembari menunggu sarapan disiapkan oleh beberapa asisten rumah tangga disana.
"Tapi kan----"
"Kak, please, aku cuma kangen semua orang disana. Dee kangen rumah, kangen Rezka, Lingga, Afrian...." Ujar Devina dengan suara yang semakin lirih di akhir kalimatnya. "Lagi pula disana tanah kelahiranku, kalaupun hidupku selesai, ha-harusnya.... harusnya aku..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...