Segala macam diagnosa, ditulis berdasarkan imajinasi penulis. Mohon maaf jika ada beberapa yang tidak sesuai dengan fakta.
Warning⚠ Ada beberapa adegan suicide yang terletak di akhir cerita, harap di skip jika tidak berkenan.
Anyway, Selamat Membaca!
Afrian mengusak kasar rambutnya. Sejak satu jam yang lalu, Devina mengabaikan pangilannya. Padahal gadis itu sudah berjanji akan melakukan panggilan video dengan Afrian.
"Ketiduran kali ya," Gumam Afrian.
Laki-laki itu menghela nafas, mencoba berpikiran positif. Mungkin saja setelah menerima tamu, Devina ketiduran. Afrian maklum karena ponsel Devina selalu berada dalam mode diam ketika istirahat.
Setelah kunjungan bersama kedua orang tuanya selesai, Afrian segera berpamitan dan langsung melesat untuk mendatangi rumah Devina dengan membawa beberapa bungkus makanan berat dan camilan.
Jika dipikir, Afrian benar-benar tidak menyangka akan berakhir menjadi budak cinta seorang Devina Sabrina Elfaza. Jika hal ini diperdiksi sejak beberapa bulan yang alu, maka yang akan terbaca hanyalah sebuah kemustahilan mengingat sikap Afrian yang menolak keberadaan Devina dengan sangat keras.
Afrian memang mengaku salah karena tidak pernah mendengarkan penjelasan dari gadis itu, memilih untuk abai, dan malah berujung menyakitinya secara sadar.
Ketika hendak memasuki halaman rumah Devina, dahi Afrian mengertnyit. Matanya menelisik sebuah mobil yang terpakir tepat di depan teras rumah Devina yang mengakibatkan mobil Afrian hanya bisa diparkir di halaman depan.
Tanpa menunggu lebih lama agi, Afrian segera keluar dari mobil dan membawa serta semua makanan yang ia beli sekaligus dengan satu pot tanaman kaktus untuk menambah koleksi taman kaktus milik Devina.
Afrian mendadak diserang rasa panik ketika mendapati pecahan beling berserakan di lantai dekat pintu rumah Devina. Saking paniknya, Afrian melempat semua benda yang berada dalam genggamannya.
Laki-laki itu kemudian setengah berlari memasuki rumah Devina.
Dalam hati ia mengumpat habis-habisan pada siapapun tamu yang berkunjung ke rumah Devina hingga menimbulkan kekacauan semacam ini.
"Berhenti, Dee... Gue mohon..."
Langkah Afrian mendadak terhenti. Perlahan, rasa khawatirnya menguap tanpa alasan yang jelas.
"Tolong, berhenti... Sebagai gantinya lo boleh bunuh gue, atau apapun itu asalkan lo puas dan sembuh setelah itu,"
Afrian yang awalnya berjalan tergesa, kini malah memelankan langkahnya mendekati suara yang ia yakini berasal dari dapur.
Benar saja, sesampainya disana, Afrian menatap punggung seorang laki-laki yang ia yakini adalah Rezka sedang berlutut dengan bahu bergetar.
Setelahnya matanya menjelajah, betapa terkejutnya Afrian ketika matanya menemukan sosok Devina yang begitu berantakan dengan tangan bersimbah darah.
Afrian merasa khawatir, namun hati dan logikanya malah berlawanan arah. Selama ini, Afrian adalah sosok laki-laki dengan pembawaan paling tenang dan kalem. Ia jarang sekali tersulut emosi, dan selalu bisa berpikir jernih sebelum bertindak, segenting apapun situasinya.
Ia hanya terpaku menjadi penonton disana, seolah ada bisikan yang melarangnya untuk mendekati kedua manusia itu, baik Devina maupun Rezka.
"Kenapa sedih? Lo harusnya seneng, hehe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...