[47] Hilang

23 4 1
                                    

How's live?
it's over, i'm just wanna die

________________________________


Devina terburu-buru menuju ruang tamu, begitu mendengar suara ketukan pintu.  Devina berjalan sembari membawa satu toples sereal cokelat yang memang biasa ia jadikan camilan.

"Nyari sia---"

Begitu pintu terbuka, Devina mematung. 

"Dee aku mau minta maaf." Orang di depannya adalah Rezka.

Fokus Devina mendadak hilang, tanpa sadar ia telah menjatuhkan toples camilannya hingga pecah dan isinya berhamburan dimana-dimana. 

"S-s-sory..." Ujar Devina dengan suara lirih nan bergetar. Devina tampak takut, namun sebisa mungkin ia menyembunyikannya. Benar. Ia harus terlihat baik-baik saja. Devina bisa, kan?

"Are you okay?" Ujar Rezka. Hatinya sedikit tercubit melihat Devina yang biasa menatapnya hangat kini tampak sedikit takut dengannya.

"i'm okay. A-ada perlu?" 

Rezka mengangguk cepat. "Ada yang mau aku bicarain. Boleh masuk?"

Devina mengangguk gemetar. Ada rasa takut yang diam-diam menyelinap dalam hatinya. Namun bagaimanapun juga ia tidak boleh lupa diri. Rezka adalah sepupunya. Rezka juga telah banyak berjasa untuknya.

"Masuk aja." Lirih Devina.

Namun Rezka tidak juga masuk. Laki-laki itu malah berjongkok untuk memungut beling bekas toples camilan Devina yang pecah bersama dengan isinya yang berserakan.

"Nggak usah diberesin," Devina secara otomatis ikut berjongkok, berniat mencegah Rezka untuk melakukannya. Namun kepalanya tiba-tiba berputar, ia hampir saja tersungkur jika Rezka tidak sigap memegangi lengannya dengan erat.

Bukannya merasa tenang, cekalan tangan Rezka di lengan Devina justru membuatnya bergetar. Bukan. Ini bukan perasaan bergetar yang mendebarkan, Devina sedikit merasa... takut...

Devina dengan cepat menepis tangan Rezka, "K-kalo gitu gue ambil minum dulu. Kalau udah selesai lo bisa langsung duduk aja disana."

Rezka mengangguk pelan, selepas kepergian Devina menuju dapur, seulas senyum pedih terbit dibibirnya. Ia tidak pernah menyangka, hasil dari perbuatannya berbuntut panjang dan berefek dengan hebat terhadap Devina.

Seusai membereskan pecahan toples camilan Devina beserta isinya, Rezka berjalan masuk menuju meja makan. Dahinya mengernyit ketika mendapat kursi disana bertambah satu. Seingatnya dulu hanya ada 4 kursi duduk, untuknya, Devina, Lingga, dan Bi Inah. 

Rindu. Tentu saja. Ia, Lingga, dan Devina pernah merajut asanya bersama di rumah ini. 

Tempat ini memang sederhana, namun memiliki banyak sekali kenangan yang tersimpan apik di setiap furnitur-nya.

"LINGGA!" Devina dengan baju tidur dan rambut kusut serta wajah khas bangun tidurnya berjalan menghampiri Rezka dan Lingga yang masih berkutat di depan layar televisi dengan stick ps di masing-masing tangannya.

"Mentang-mentang bangun tidur, neriakin orang sembarangan." Gerutu Lingga.

Sedangkan Rezka hanya terkekeh pelan bersiap menyaksikan keributan yang disajikan oleh dua adik tidak sedarahnya.

"CHESECAKE GUE MANA?! JANGAN BILANG LO ABISIN!" 

"Hehe khilaf tadi. Nanti beli lagi ya, ga usah kayak orang susah, duit gue banyak. Nanti gue traktir deh kalo lo udah mandi."

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang