"Ini awal permainan, masih dalam tahap pemanasan. Jadi gue saranin untuk pasang hati sekokoh tembok besi yang kuat dan tidak mudah dihancurkan. Karena hidup lo kedepannya akan lebih mengerikan daripada neraka yang telah dijanjikan oleh Tuhan sebagai tempat pemberian hukuman untuk para setan."
____________________________________
Satu kata yang bisa Afrian ungkapkan untuk mendeskripsikan hari ini adalah bosan. Pelajaran di kelasnya berlangsung seperti biasanya, tapi sayangnya Afrian tidak bisa menangkap satupun materi yang dijelaskan oleh gurunya.
Saat ini kelasnya sedang kosong, karena bel pergantian jam baru saja berbunyi sekitar dua menit yang lalu. Mumpung belum ada guru yang memasuki kelas untuk mengisi jam pelajaran selanjutnya, Afrian bergegas keluar dari kelasnya. Apalagi tujuannya jika bukan untuk membolos sampai bel pulang sekolah berbunyi.
Afrian berjalan santai di koridor, ia bahkan tidak peduli kalaupun ada Guru BP yang melihatnya. Sudah cukup selama ini Afrian berada dalam topeng kepalsuan. Berpura-pura menjadi kura-kura yang bersembunyi di balik tempurungnya, padahal sebenarnya ia adalah singa yang siap menerkam siapa saja.
Disisi lain, seorang gadis berjalan tergesa-gesa di koridor dari arah yang berlawanan. Karena terlalu tergesa-gesa, gadis itu tidak sadar telah menabrak seorang cassanova sekolah.
"Aduuuhhhhh, maaf gue nggak sengaja."
Afrian menghiraukan gadis itu dan melanjutkan langkahnya menuju atap sekolah. Sedangkan gadis itu tampak mendengus dan mengumpat pelan.
Sesampainya di sana, Afrian terkejut melihat bahwa tempat itu kini tidak kosong, melainkan berpenghuni. Seorang gadis berambut sebahu sedang duduk membelakanginya. Dari postur tubuhnya, Afrian langsung bisa mengenalinya bahwa ia adalah gadis keras kepala yang selalu mendekatinya meskipun telah Afrian tolak mentah-mentah.
"Afri?" Gumam gadis itu dan menoleh ke arah Afrian yang kini mematung di tempat.
Benar saja, gadis keras kepala itu adalah Devina.
Devina membalikkan badannya menatap Afrian yang dengan cueknya duduk dengan jarak sekitar lima meter dari Devina. Afrian mengeluarkan sebatang rokok lengkap beserta dengan korek dari dalam sakunya.
"Lo berubah."
Tangan Afrian mengepal, ia berbalik menatap Devina dengan pandangan kemarahan.
"LO TAU APA TENTANG HIDUP GUE?!" Afrian berseru keras, pundaknya naik turun seiring dengan luapan emosinya yang mencuat keluar mencoba mengeluarkan perasaan yang selama ini ia pendam.
Devina tercengang, menatap Afrian dengan tatapan penuh penyesalan. Iris mata kecoklatan milik Afrian yang biasanya menatap Devina dengan tajam kini telah berubah. Aura mengintimidasi Afrian perlahan menghilang, berganti dengan aura kebencian yang begitu menusuk penglihatan hingga tembus ke relung hati terdalam.
"Gue emang nggak tau apa-apa tentang hidup lo. Tapi gue janji bakalan ngebikin lo ngerti kalau hidup itu bukan cuma untuk berdiam diri dan meratapi penyesalan masa di lalu Afri," Devina berujar lirih, namun tersirat keyakinan yang begitu mendalam pada kalimatnya.
Afrian tersenyum miring sebelum akhirnya membalas perkataan Devina, "Gue kaktus. Gue punya duri, dan gue akan dengan senang hati ngelukain siapapun yang menurut gue mengganggu. Termasuk lo. Devina. Sabrina. Elfaza."
"Gue tau, gue bakalan luka kalo gue nyentuh kaktus dengan tangan telanjang, tapi gue nggak sebodoh yang lo kira Afri. Gue emang bakalan nyentuh kehidupan lo, tapi nggak dengan tangan telanjang. Gue punya sarung tangan yang bisa gue pake untuk ngelindungin tangan gue dari tusukan duri lo yang tajam kalo lo lupa. Afrian. Putra Wiranata."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Teen Fiction(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...