[48] Post-traumatic-stress-disorder

23 1 0
                                    



Selamat Membaca!



Devina berjalan tertatih menuju dapur rumahnya. Kepalanya terasa berputar sesaat setelah melihat pecahan toples camilannya.

"Lo harus tau, semua yang lo terima sama sekali belum cukup untuk membayar kejahatan yang lo lakuin. Lo seorang pembunuh, sekaligus perusak masa depan Afrian. Untuk Dea yang udah tenang di alam sana, dan untuk Afrian yang hari ini dibawa ke penjara. Dulu gue emang terlalu naif karena percaya sama lo dan mengabaikan fakta-fakta yang ada. Tapi hari ini gue baru aadar, bahwa lo.... sama sekali nggak pantes jadi temen gue. Lo cuma pembawa sial yang selalu bikin semua orang di dekat lo bernasib buruk. Harusnya lo mati, karena dunia ini terlalu indah untuk lo kotorin."

Devina menggeleng pelan ketika bisikan-bisikan itu mulai memenuhi kepalanya, "Nggak! Gue bukan pembawa sial!"

"Gue bukan.... pembunuh...." 

Tubuh Devina perlahan merosot, ia tampak begitu terluka meski nyatanya fisiknya terlihat baik-baik saja.

Ingatan buruk Devina mendominasi, hatinya sungguh sakit ketika mengingat bahwa dirinya pernah dibenci banyak orang untuk alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Terus disalahkan oleh tuduhan yang sama sekali tidak ia lakukan.

"Lo nggak liat Dee kenapa?" 

"Terus?" 
 "Lo urusin sendiri lah. Gue sibuk masih banyak urusan penting yang harus gue selesaikan."

Ingatan Devina kembali berputar pada kejadian yang sempat merenggut kewarasannya. Malam puncak dimana semuanya terbongkar, namun sayangnya saat itu Devina sedang kehilangan akal sehatnya.

Semua kejadian menyakitkan, terekam dengan apik pada sudut tergelap ingatannya dan meninggalkan sebuah rasa trauma dan mempengaruhi kesehatan psikisnya.

"Devina Sabrina Elfaza. Cewek lemah yang taunya cuma berlindung dibalik wajah melasnya, berakting seolah menjadi orang paling menderita sedunia, sadar nggak sih lo itu cuma cewek naif!" 

"NGGAK! GUE BUKAN CEWEK LEMAH!" Devina menjerit keras diiringi isakan tangisnya yang menggema di dapur. Ia tak pernah bisa lepas dari bayang-bayang mengerikan yang selalu menggerogoti akal sehatnya.

Bagaimanapun juga, bertahun-tahun hidup bersama dengan rasa sakit, kecewa, dan dipaksa untuk terus merasa bersalah atas insiden yang seharusnya tidak menjadi tanggung jawabnya, benar-benar mengerikan.

Perlahan tubuh Devina merosot, ia terduduk sembari memeluk lututnya. Alam bawah sadarnya seolah memerintah untuk menyembunyikan diri dari bayangan hitam yang menggerogotinya secara perlahan.

"Cewek gila. Lo pikir siapa yang mau merawat orang nggak waras semacam lo, sampah!!"

"ARGHHHH!"  Tanpa sadar tangan Devina bergerak menjambak rambutnya sendiri dengan keras hingga tercabut beberapa helai. 

Alih-alih merasa sakit, Devina justru terlihat senang. Ia tertawa seolah merasa bahagia, kemudian bangkit menuju rak penyimpanan gelas dan piring tepat disamping wastafel untuk mencuci peralatan makan.

Tanpa ragu, gadis itu mengambil satu gelas kaca, namun sama sekali tidak berniat untuk minum. 

Gadis itu membenturkan tangannya yang masih menggenggam gelas kaca dengan erat pada tembok dapur. 

PRANGGGG. 

"Hehe, kalian semua benar! Gue emang sampah yang gak berguna!" Tawa Devina lagi-lagi mengembang ketika menatap pecahan gelas yang masih berada pada genggamannya. 

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang