[30] Teror

110 7 1
                                    

"Tugas selesai. Gue udah protect semua aset perusahaan keluarga Devina yang tersisa."

Lingga tersenyum puas sembari menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa ruang tamu.

Sedangkan Rezka masih terlihat serius beradu dengan laptopnya, sesekali dahinya berkerut. Namun setelah menekan tombol enter, sebuah senyum terkembang sempurna di bibirnya.

"Gue juga berhasil lacak pelakunya." Rezka menyesap kopinya. Meski sama-sama memiliki resiko kecanduan, dibanding rokok, Rezka memang lebih menyukai kopi sebagai penggantinya.

Rezka biasa meminum kopi dua kali sehari. Rutinnya satu cangkir setiap pagi, dan satu cangkir lagi ketika sedang membutuhkan penjernihan pikiran. Menurutnya, kopi adalah obat yang paling mujarab untuk menurunkan tingkat kekalutan pikirannya.

"Anjir!" Lingga tiba-tiba berteriak, membuat Rezka terburu-buru meletakkan kembali kopinya diatas meja.

"Istri gue, Raisa nikah."

Rezka menjambak rambut Lingga dengan tidak santai, "Sialan lo! Gue kira apa."

Rezka kembali duduk dengan tenang di tempatnya, kembali menyesap kopinya, mengabaikan Lingga yang masih mengusap pelan layar laptopnya dengan wajah sedih.

"Gue sedih jadinya. Pengen nangis, tapi masih inget kalo punya pedang."

Rezka menahan dirinya untuk tidak menyiram Lingga dengan secangkir kopi yang ia pegang.

"Rezka!" Teriak Lingga lagi.

Kali ini Rezka tidak akan tertipu kembali seperti sebelumnya. "Ape? Nemu apa lo? Kucing tetangga lo hamil, tapi kagak tau siapa bapaknya, terus lo sedih, hah?!!"

"Abang Rezka, bisa ngelucu juga ternyata. Dedek Lingga terharu jadinya." Lingga mengusap pelan matanya, seolah ada tetesan air mata yang turun membasahi pipinya.

"Najis lo."

"Ih abang Rezka kenapa jadi jahat lagi sih? Dedek sedih jadinya." Ujar Lingga, masih dengan wajah konyolnya. Menyadari Rezka tidak memberi respon pada guyonan recehnya, wajah Lingga berubah menjadi sedikit lebih serius dari sebelumnya.

"Tapi kali ini gue serius,"

"Ini sih pelakunya masih bocah!"

"Gila! Gue bahkan bisa masuk ke akunnya dengan gampang, Ka."

Rezka menghampiri Lingga pelan. Memperhatikan layar laptop Lingga dengan seksama. Sesekali jemarinya ikut menjelajah ke atas kursor dengan lincah.

"Nadya Sabira Raditama."

"Lo kenal?"

Lingga menggeleng dengan wajah polosnya, membuat Rezka benar-benar ingin melemparnya dengan pisau.

"Tapi kenapa wajahnya keliatan familiar ya? Kayak pernah liat---"
Mendengar penuturan Lingga, sontak saja Rezka menoleh cepat, berharap otak mini milik Lingga itu bisa bekerja dengan benar. Setidaknya untuk kali ini saja. "Serius lo?!! Dimana?"

Lingga hanya nyengir tanpa dosa, "Tapi lupa, hehe." Bibir Lingga berkedut menahan tawa. Ekspresi lucu Rezka benar-benar membuat Lingga gemas ingin menaboknya, tapi takut dosa.

Seketika tawa itu berhenti, ketika keduanya mendengar suara aneh dari pekarangan rumahnya. Seperti suara orang terjatuh, tapi itu tidak mungkin karena sekarang waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, jadi tidak mungkin ada orang yang masih berjaga kecuali satpam.

Lingga menatap horor ke arah pintu, mereka memang sedang berada di ruang tamu sekarang. Bulu kuduknya merinding. Sedikit menakutkan memang, terutama jika mengingat tetangga sebelah yang baru meninggal satu minggu lalu.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang