[13] Rencana dan Misi

130 6 0
                                    

"Barangkali sebuah tulisan memang sengaja diciptakan oleh si gadis pemalu dan pendiam yang bisu. Ia memiliki suara, namun tak bisa menyuarakan kata hatinya."

____________________________________

Devina baru saja keluar dari taksi yang di tumpanginya. Bajunya sudah berganti, Devina mengenakan jeans dan kemeja hitam, beserta sebuah topi dan masker yang juga hitam. Tidak. Devina sedang tidak menyamar, Devina hanya sedang menjaga kerahasiaan identitas aslinya beginilah seragam Devina jika sedang bekerja.

Devina memang biasa bekerja secara online, yaitu cukup dengan duduk manis di depan laptop dengan seperangkat alat pelengkapnya, Devina sudah bisa memulai pekerjaannya dan mendapat bayaran yang di transfer oleh kliennya ke rekening bank miliknya. Namun terkadang, ada juga beberapa kliennya yang meminta bertemu secara face to face dengan dirinya. Devina memang mengiyakan permintaan kliennya, tapi tentu saja, Devina sudah mempersiapkan segalanya dengan terencana dan matang dibantu oleh beberapa worked partner-nya yang kini sedang berada di luar kafe tempatnya bertemu dengan sang klien.

Devina melangkahkan kakinya menuju meja nomor dua belas yang terletak di ujung kafe. Beberapa pelanggan menatap aneh ke arah Devina karena penampilannya. Namun Devina menghiraukannya.

"Hello. Are you Miss Elfaza, right?" Sapa seseorang dari seberang mejanya.

Devina menoleh, mendapati seorang laki-laki yang ia perkirakan terpaut usia sekitar satu tahun diatasnya. Devina merasa sedikit aneh, sebab kebanyakan kliennya adalah pria berumur, yang pastinya sudah memiliki keluarga.

"Yeah. And you are Mr. Albert, right?"

Laki-laki itu mengangguk.

"So, what do you want?" Tanya Devina langsung pada intinya.

Laki-laki itu tersenyum samar, "Kenapa terburu-buru sekali, Nona. Calm down, it's okay, you can stay for a while,"

"But, I'm haven't many time, sir. I'm so sorry." Ujar Devina dingin.

Devina memperhatikan laki-laki itu dengan wajah datarnya yang tersamarkan oleh masker. Mata Devina menyorot dingin pada lelaki itu.

"Apa yang anda inginkan?" Ulang Devina.

Lelaki di seberang Devina itu tersenyum samar, sebelum kemudian mengutarakan maksud dan tujuannya menemui Devina. Sedangkan Devina hanya diam mendengarkan, sembari sesekali mengangguk tanda ia mengerti.

"Jika kamu berhasil maka aku akan membayar dua kali lipat dari biasanya. Bagaimana? Setuju?"

Devina mengangguk tanpa mengucapkan satu kata apapun. Laki-laki itu tersenyum puas. Keduanya sama-sama menjabatkan tangannya, pertanda bahwa mereka bekerja sama sekarang. Devina tersenyum senang dibalik maskernya, namun tetap saja laki-laki di seberang meja itu tidak akan bisa melihat senyumannya.

Devina melangkahkan kakinya meninggalkan kafe menuju mobilnya yang terparkir di sebuah jalur khusus untuknya. Ya benar. Kafe ini adalah milik Devina, usaha kecil yang Devina bangun dari uang hasil bekerjanya. Devina bukanlah gadis manja yang dengan mudahnya meminta uang kepada orang tuanya. Apalagi jika mengingat bahwa hubungan antara Devina dan keluarganya yang tidak harmonis karena kematian Dea, adiknya.

Devina yang selalu saja disalahkan atas kematian Dea, yang jelas-jelas bukan kesalahannya. Ah andai saja mereka tahu kebenarannya.

"Dee? Woyyy?!! Ngelamun aja lo." Ujar seseorang dari kursi penumpang.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang