[28] Semua Membenci

103 13 4
                                    

" Aku adalah sisa dari asa, sebuah ketidak-mampuan yang terus memaksakan diri untuk bertahan diantara semesta yang sedang berkonspirasi dengan manusia untuk saling berlomba merajamku agar tenggelam dalam telaga lumpur neraka dunia."

____________________________________


Devina tersenyum riang berjalan di koridor sekolahnya. Ia senang karena dapat kembali sekolah. Setidaknya, bertemu dengan teman-teman sekolahnya dapat sedikit meringankan bebannya. Bahkan ia telah merancang harinya dengan baik. Pulang sekolah nanti Lingga akan menjemputnya karena kebetulan cowok itu sedang libur bimbingan belajar di sekolahnya.
Devina tidak sabar akan kembali memulai aktivitasnya. Devina rindu pada rumah kecil miliknya sekaligus tempatnya bekerja, Devina rindu dengan komputer dan segala perangkat yang ia gunakan untuk bekerja, Devina rindu kafe miliknya, Devina rindu merawat taman kaktusnya, pada intinya Devina rindu semuanya.

Devina menatap ruang kelasnya yang masih kosong, wajar saja, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Devina sengaja memulai harinya lebih awal, karena ia tidak mau lebih lama berada di rumah neraka itu.

Kantin Pojok -Afr

Mata Devina mengernyit ketika mendapati sebuah kertas diatas mejanya, bukan sebuah tulisan tangan, maka dari itu Devina sedikit bingung untuk menebak siapa pengirimnya.

Tanpa rasa curiga sedikitpun, Devina akhirnya mengikuti petunjuk yang tertulis di kertas itu. Langkah Devina terhenti sejenak ketika mengingat kenangan buruknya bersama Afrian di tempat itu. Dadanya sedikit sesak, tapi ia menahannya. Setidaknya ia harus terlihat kuat. Ya. Seharusnya memang begitu peraturannya.

Kerutan di wajah Devina semakin bertambah ketika menatap seorang cowok yang duduk sembari menyesap rokoknya. Itu Afrian. Mau tidak mau Devina menjadi refleks mengembangkan senyumnya. Bahkan bekas lukanya tempo hari terasa seperti sembuh seketika. Karena Devina jelas tahu, bahwa Afrian adalah penawar, penyembuh, obat dari segala lukanya. Sekalipun cowok itu bukan miliknya.

Devina berjalan mendekat ke arah Afrian yang entah mengapa membuat cowok itu terkesial dan membuang rokoknya asal, kemudian menginjaknya hingga bara apinya padam. Afrian menatap Devina dengan wajah bingung pada awalnya, namun kemudian terlihat jelas cowok itu mati-matian merubah ekspresinya menjadi datar. Tapi Devina tidak menyadarinya.

"Afri.... Ke-kenapa panggil aku kesini?"

Afrian terdiam, keningnya mengernyit semakin dalan, tapi wajahnya tetap datar menatap lawan bicaranya.

"Bacot. Gue nggak ada waktu nanggepin lo."

Mata Devina memanas. Nyatanya lidah Afrian tetap tajam sama seperti sebelumnya.

"Keras kepala, sialan." Umpat Afrian pelan, tapi telinga Devina masih cukup waras untuk bisa mendengarnya di saat suasana sepi seperti ini.

Devina sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia tetap berdiri, menatap Afrian yang duduk di bangku panjang milik kantin sembari mengacak rambutnya pelan. Entah karena frustasi, marah, atau apapun itu yang jelas Devina tidak tahu. Devina tidak mengenal Afrian sekarang, cowok itu terlalu banyak berubah.

"Pergi lo." Ujar Afrian datar. Namun Devina masih bergeming di tempatnya.

Hingga kemudian rahang Afrian mengeras, wajahnya memerah, bahkan terlihat dengan jelas uratnya yang menonjol di tangannya, cowok ini sedang menahan emosinya.

"GUE BILANG PERGI YA PERGI!!!"

Namun Devina seperti tuli, ia bahkan kini tampak berani menatap Afrian menantang, meski matanya menyorotkan kesedihan yang mendalam.

Filosofi Kaktus [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang