Selama perjalanan, hanya hening yang menemani. Tidak ada satupun diantara mereka yang bersuara. Devina hanya diam dengan aura kesedihan yang mengerikan.
"Lo kenapa sih?"
Devina hanya menggeleng cuek. Ia sibuk dengan ponselnya. Tangannya menggulir ke atas, lalu kembali ke bawah. Devina menggigit pelan bibirnya.
Ada yang menyebar fotonya dengan Afrian, di grup sekolah.
Pantas saja, semua orang sibuk berbisik tentangnya. Nafasnya tercekat. Hilang sudah hidupnya yang damai dan biasa saja.
Devina yang memang sengaja bersembunyi di balik tembok raksasa, kini harus mulai terbiasa hidup di alam terbuka. Membiarkan harimau-harimau lapar itu memangsanya lalu mati dengan pasrah.
Devina masih sibuk bercengkrama dengan ponselnya, hingga tak sadar jika kini mobil Lingga sudah berhenti tepat di depan rumah Devina.
Alih-alih mengucap terima kasih, Devina malah melangkah tanpa kata, kemudian menutup kencang pintu mobil Lingga hingga menimbulkan suara. Bahkan Lingga pun berjengit karenanya.
Tuh cewek kenapa sih? Mabok micin? Keluh Lingga.
Devina tidak jadi pulang ke markas. Devina memutuskan untuk pulang ke rumahnya, ia ingin menyepi. Menata ulang hatinya yang sudah porak poranda. Setidaknya hingga hari berganti.
Suasana tenang di rumah, membuat Devina sedikit bisa bernapas lega. Namun hal itu tidak bertahan lama, begitu mata Devina menangkap sebuah pemandangan asing di taman kaktus miliknya.
Ada sebuah kaktus yang dihias dengan pita merah, entah siapa yang mengirimnya, tapi Devina yakin bahwa ini hadiah yang memang sengaja ditujukan untuknya.
Devina tersenyum miring. Sebuah kaktus berpita merah, dengan duri yang dihiasi darah di bagian ujungnya, benarkah?
Wow.... Devina benar-benar terkejut!
***
Suasana malam di rumah ini terlihat berbeda. Meja makan yang biasanya hanya diisi oleh dua orang, kini bertambah satu.
Namun bertambahnya satu anggota sama sekali tidak merubah keadaan. Hening masih tercipta, masing-masing orang tetap bungkam tanpa suara dengan denting sendok yang berbenturan dengan piring sebagai sebagai musik pengiringnya. Hingga wanita paruh baya yang menempati kursi di ujung meja mulai angkat bicara.
"Gimana sekolah kalian?"
Salah seorang anak laki-laki yang duduk di sisi meja sebelah kanan menjawab, "Biasa aja, Ma. Kan Mama ngawasin tiap hari."
"Kalau kamu?" Kini tatapan wanita itu beralih pada anak laki-laki yang duduk di sisi meja sebelah kiri.
Merasa tidak mendapat jawaban, wanita paruh baya itu kembali bicara, tetap dengan suara yang lembut, tapi tegas.
"Afrian, Mama sedang berbicara dengan kamu!"
Afrian menoleh pelan, mengangkat satu alisnya tanpa dosa, seakan ia baru bergabung disana dan tidak mendengar pembicaraan apapun sebelumnya.
"Emang dasarnya preman, taunya cuma main perempuan, nggak pernah ngerti sopan." Celetuk anak laki-laki yang duduk di depan Afrian. Mereka berseberangan, hanya terpisah oleh sebuah meja makan.
"Gilang! Jaga bicaramu. Mama nggak pernah ngajarin kamu bersikap seperti itu pada Kakakmu!" Ratna mulai berujar tegas pada kedua anaknya.
Afrian hanya mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia masih sadar benar jika ini bukan waktu yang tepat untuk membuat keributan. Sepenuhnya Afrian masih menghormati keberadaan Ratna, Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Kaktus [Selesai]
Novela Juvenil(Noted: Segera di revisi setelah menyelesaikan cerita selanjutnya) Masa SMA atau biasa dikenal sebagai masa putih abu-abu adalah masa dimana seorang anak remaja yang baru akan bertransformasi menjadi manusia dewasa, seseorang pada masa ini biasanya...