1 : : Orang Asing (?)

7.9K 573 46
                                    

Kenyataan yang menyakitkan : ketika orang yang kau cintai melupakanmu

~A Thousand Hearts for Veny

...

Kelaparan!!

Satu-satunya momok menakutkan yang paling dihindari oleh Alvin. Bukannya di sini tidak ada makanan, hanya saja dirinya sudah Indonesia tulen, lidahnya, seluruh anggota tubuhnya seolah-olah begitu sulit menyesuaikan segala hal yang berada di kota Oxford ini.

Alvin mengembus napas panjang, memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantel tipisnya. Kakinya terus melangkah memasuki Gail's Bakery, tampak dipadati pengunjung, ada yang sibuk dengan laptop dan gadget-nya, ada yang sibuk mengobrol serta menikmati hidangan, dan ada pula wajah-wajah yang tampak serius tengah menilai kualitas baik atau buruknya toko ini.

Setidaknya bagi Alvin toko ini sudah termasuk sangat bagus, meskipun sudah dipastikan tidak ada nasi. Sangat sulit mencari nasi di sini, jika ada pun mungkin tempatnya lumayan jauh dan menghabiskan beberapa poundsterling untuk bolak-balik mengenakan bus.

Bolehkah ia pulang ke Indonesia sekarang?

Tentu saja tidak. Selain biaya yang lumayan besar, mengalami jet lag dari Oxford ke Indonesia benar-benar membuat Alvin setengah pingsan.

Alvin merunduk, memerhatikan berbagai jenis roti di dalam rak kaca. Bau adonan dan beberapa toping lainnya sungguh membuat perutnya keroncongan, padahal jam menunjukkan pukul tiga sore tapi cacing-cacingnya tetap saja melanjutkan aksi demonya.

"Corn rye bread dua dan brioche dua, kotaknya dipisah," ucap Alvin menunjuk roti berbentuk bulat berisi daging dan kacang-kacangan.

"Eight poundsterling."

Eight poundsterling? Dalam hati Alvin mendengus, angka delapan mungkin cukup kecil bila dibandingkan angka 5000. Tapi percayalah ada satu hal yang ingin Alvin kutuki di musim gugur ini, uang delapan poundsterling nyatanya cukup besar harganya bila dibandingkan uang 5000 di Indonesia.

Jujur, sebenarnya ia tidak ingin membandingkan negara satu dengan negara lainnya, setiap negara punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hanya saja dirinya sebagai anak rantauan mau tak mau membuatnya harus hidup berhemat, dan saking hematnya ia merasa semua makanan di sini terlalu mahal.

Salah satu efek samping dari homesick : suka membanding-bandingkan.

Tunggu! Mata Alvin membulat, meronggoh kedua saku mantelnya dengan panik, nihil tak ada dompetnya di sini, di saku celananya juga tidak ada dan... Alvin melepas tas sandangnya lalu membongkar isinya, jangan bilang ia tidak membawa dompet tadi! Tidak tidak, tadi pagi ia sempat mengambil benda abu-abu itu dari atas meja belajar.

"Boy? Are you okay?" tegur pelayan itu.

Alvin mengangkat sebelah tangannya, tersenyum. "Give me five minutes."

Pelayan itu mengangguk, melayani pembeli yang lainnya. Alvin memejamkan mata, mendaratkan tubuhnya di bangku sejenak. Dahinya mengernyit seketika, berusaha mengingat-ingat dimana letak barang penting itu sekarang.

Di kampus? Alvin mengacak rambutnya kesal. Tidak juga. Apa mungkin benda itu... sontak kedua mata bundar Alvin terbuka, menegakkan tubuhnya seketika.

Jatuh?

"Excuse me. Lo Alvinando Manathan?"

Alvin mendongak memerhatikan sumber suara yang baru saja memanggilnya. Cowok, berpostur tinggi, dengan rambut yang sengaja digondrongkan, dan dari wajah-wajahnya sepertinya umur cowok itu sebaya dengan Alvin.

Alvin mengangguk pelan. "Yeah."

"Tadi dompet lo jatuh," ucap cowok itu seraya meletakkan dompet abu-abu Alvin ke atas meja. Belum sempat Alvin berbicara, cowok itu melanjutkan. "Enggak usah sok Inggris, asal gue juga sama kayak lo."

"Makasih," jawab Alvin datar, seandainya saja bukan orang ini yang menemukan dompetnya, mungkin seumur hidup Alvin tak akan mau berurusan makhluk-makhluk seperti ini lagi. Menyebalkan.

"Gue Varengga Vernanda. Panggil gue Rengga."

"Hmm..." jawab Alvin datar, membalas uluran tangan orang itu. Sumpah demi apa ia sama sekali tidak menanyakan nama makhluk di depannya ini. "Alvinando Manathan. Panggil gue Alvin."

Cowok itu mengangguk. Membalikkan badan lalu memesan beberapa roti yang tertera di rak kaca, begitu juga Alvin. 

♡♡♡

Dekat namun terasa jauh.

Ya, itu yang tengah dirasakan Veny sekarang. Gadis dengan kupluk di kepala dan bermantel tipis itu tersenyum, memasukkan buku-buku kuliahnya ke dalam tas. Disandangnya tas itu sejenak, lalu keluar dari kawasan perkuliahan.

Jujur saja selama ia tinggal berbulan-bulan di kota Oxford ini, mungkin ia bertemu Alvin hanya sekitar tiga atau empat kali. Kuliah sungguh berbeda dengan sekolah, jika di sekolah ia dengan mudah menemukan Alvin maka sekarang sebaliknya, bukan hanya karena luas tempat yang memisahkannya, tapi waktu masuk keluar kelas, dan kesibukan masing-masinglah yang menjadi penghambatnya.

Dan sekarang, ia ada janji untuk bertemu cowok bermata bundar itu.

Pukul setengah empat sore, tempat duduk yang tak jauh dari Gail's bakery. Veny tersenyum senang, melangkahkan kedua kakinya dengan cepat, ia pandangi cincin yang melingkar di jari manisnya, seraya membayangkan orang yang berani membuat komitmen dengannya.

"Nat!" panggil Veny dari sebrang.

Hening, Alvin yang duduk di bangku dari sebrang jalan itu juga tampak tidak menggubrisnya. Cowok itu memasang wajah datar, menatapi aspal jalan, seperti tidak menikmati celotehan orang yang duduk di sampingnya.

Veny mengernyit, menyebrangi jalan raya. Jadi ia tidak hanya berdua bersama Alvin disini?

"Nathan? Nat?" panggil Veny berdiri di depan Alvin.

Alvin sedari tadi menundukkan kepalanya dengan bosan itu akhirnya mendongak memerhatikan Veny. Senyum cerah mendadak terukir dari kedua sudut bibir cowok itu.

Alvin menggeserkan posisi duduk, lalu menepuk bangku panjang masih terlihat kosong.  "Sini duduk samping gue Ven, lapar enggak? Ini gue beli roti tadi," ucap Alvin, menyodorkan sekotak roti di tangannya.

Veny mengangguk, belum sempat ia membuka kotak roti, sontak ada suara deheman yang menahannya.

Veny mencondongkan tubuh, memperhatikan pemilik suara deheman itu. Cowok, berpostur tinggi, dengan rambut yang sengaja digondrongkan.

Cowok itu menyeringai, mengulurkan sebelah tangannya. "Gue Varengga Vernanda, panggil gue Rengga, salam kenal."

Varengga Vernanda...

Veny mengerjapkan mata, membalas uluran tangan orang itu sejenak. Entah mengapa perlahan-lahan sekujur tubuhnya mendadak terasa kaku.

♡♡♡

AN : 

Haii... cerita ini udah kependem sebulan, dan  baru bisa nulis sekarang. Untuk cerita ini mungkin bakal aku buat pendek-pendek #langsungnulisenggakpakaibukutulisdulu. Yang jago Bahasa Inggris sama yang udah kenal-kenal Oxford nih kalau ada yang salah comment aja oke. Saran dari kalian sangat membantu ^^

Thank's for reading! I hope you enjoy it! 

26.09.17

A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang