Brrrshhh...
Pancaran air keluar dari keran, dari dalam koridor toilet universitas tampak Alvin membungkuk, menyisakan wajahnya beberapa senti dari westafel.
"Hhh..." Alvin menarik napas terengah-engah, kedua matanya terpejam erat berusaha menahan rasa lemas, akibat seluruh isi perut yang baru saja ia keluarkan.
Perih, karena isi perutnya seakan tertahan, dan apalagi yang keluar bukanlah sisa makanan melainkan cairan asam yang mungkin berasal dari lambungnya.
Perlahan Alvin menampungkan air itu ke arah telapak tangan, berkumur-kumur sejenak lalu mencuci muka, sekedar memberi efek segar agar tidak terlihat begitu lemas dan pucat.
Bodoh, cukup sekali dalam keadaan seperti ini ia berkeliaran keluar penginapan.
Seandainya saja tadi ia tahu bahwa Veny tidak sendiri mengunjunginya, seandainya saja ia tahu bahwa rasanya berakhir cemburu seperti ini, mungkin Alvin akan lebih memilih untuk berdiam diri di penginapan.
Selain bisa mengistirahatkan tubuh, ia juga bisa mengistirahatkan pikiran gilanya, pikiran yang selalu berpikiran tidak-tidak terhadap Veny dan Rengga, serta pikiran yang selalu menekankan bahwa dirinya jauh dikatakan pantas untuk menjalani komitmen bersama gadisnya itu.
Mulai merasa agak baikan, secepat mungkin Alvin menegakkan tubuh, membenarkan letak sandangan tasnya lalu berjalan keluar dari toilet.
"Hello."
Langkah Alvin terhenti sejenak, beru saja beberapa langkah menjauhi toilet di sebelah barat, sontak ada suara yang menyapanya mungkin?
Ragu, Alvin tak membalas sapaan, kepalanya ia tolehkan ke belakang, mencari sumber suara. Seorang cewek dengan rambut pirang ciri khas orang barat, berjalan menghampirinya.
"Can i help you?" tanya Alvin., bingung.
Cewek itu menggeleng, lalu meronggoh sesuatu dalam tasnya, memberikan sebotol air mineral kepada Alvin.
"Tadi kebetulan saya lewat toilet, enggak sengaja dengar kamu..." Cewek itu melanjutkan kalimatnya dengan gerakan isyarat, membuat Alvin mengangguk paham.
"Thanks," ucap Alvin, tersenyum tipis. Kebetulan, air mineral di rumahnya juga habis beberapa hari yang lalu dan ia belum sempat membeli.
Cewek itu mengangguk kembali, mengulurkan tangannya. "Yohanna Mathlison, you can call me Hanna. What your name?"
"Alvinando Manathan," ucap Alvin, membalas uluran tangan Yohanna. "Humm... gue harus pulang dulu, makasih minumannya."
Cewek itu mengangguk.
Alvin melangkahkan kaki kembali, kedua matanya mengerjap sejenak begitu memperhatikan gadis yang tengah berdiri di depan pintu gerbang universitas, angin berhembus kencang, membuat rambut panjang gadis itu sedikit bergoyang.
Veny.
Cewek itu masih menunggu jemputan.
Secepat mungkin Alvin melangkah cepat, berdiri di samping Veny, tampak cewek itu tengah menunduk, memperhatikan bayangan sendiri.
"Masih belum dijemput juga?" tanya Alvin.
Veny tersentak, cewek itu memperhatikan mata cokelat Alvin dalam-dalam lalu menggeleng, tersenyum tipis. "Nat..."
"Hmm..." jawab Alvin, diam-diam mencengkram kedua sandangan tasnya erat berusaha menetralkan berbagai macam rasa sakit yang lagi-lagi menyerang tubuhnya.
"Kamu pulang sama aku, sama Papa ya? Enggak mungkin untuk kamu jalan kaki ke penginapan dalam kondisi kayak gini, Nat."
Alvin mengangguk. Ya, memang sepertinya tidak mungkin, bahkan disaat berdiri tegak seperti ini saja seluruh pandangannya seakan berputar, kepalanya begitu berat, dan Alvin memohon, jangan sampai dirinya memiliki hobi seperti dulu...

KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]
Ficção Geral[SEQUEL A Thousand Stars for Nathan] "Hati memang satu, tapi ruangnya ada 1000. Dan aku harap, kamu bisa nempati 1000 ruang itu." -Veny- ___ Ini tentang Nathan dan Veny, ini tentang dua orang saling terikat dalam hubungan yang berbeda. Bukan pacaran...