8 : : Dreams

3.2K 280 8
                                    

Percayalah, satu rasa takut yang kamu alami dapat merusak batinmu, mengacaukan akal sehatmu, dan menghancurkan fisikmu.

~ A Thousand Hearts for Veny

...

Panti Asuhan Cahaya Indah

Angin sore berembus kencang, daun-daun kering berguguran dari pohonnya, belum lagi langit jingga yang menyelimuti kota Jakarta itu tampak indah.

Dari halaman depan, tampak cowok berusia 17 tahun baru saja keluar dari rumah berdinding putih itu. Ia menguap sejenak, seraya mengucek matanya di ambang pintu.

Ibu panti yang biasa dipanggil Ibun itu menoleh, memerhatikan salah satu anak asuhnya. "Rengga? Baru bangun tidur? Ayo duduk sini temanin Ibun," suruh wanita paruh baya itu seraya menepuk kursi dengan anyaman rotan dengan pelan.

Rengga mengangguk, duduk bersebrangan dengan Ibun.

"Rengga, kamu enggak mau main sama adik-adik?"

Rengga memerhatikan halaman panti, ada sekitar delapan anak yang berusia di bawahnya tengah bermain di sana. Ada yang bermain lompat tali, jengket, dan ada pula yang hanya berdiri sembari mengomentari temannya bermain.

Rengga tersenyum samar, menggeleng. Diam-diam ia mencengkram buku soal-soal pelajaran di tangannya dengan erat.

Bermain? Percayalah ingin sekali ia bermain, bukan ia gengsi untuk gabung bersama anak-anak itu, tapi entah sejak kapan dirinya berusaha mungkin menghindari dari yang namanya rasa senang dan memilih untuk fokus pada sekolah.

Rasa tanggung jawabnya mulai muncul mungkin?

Ya, perlahan Rengga mengiyakan, di antara anak-anak itu dirinyalah yang paling besar. Ia harus menjaga adik-adiknya, dan jika bisa, dewasa nanti ia ingin membantu Ibun yang mengasuhnya dengan sepenuh hati, tanpa balas budi.

Rengga tersenyum samar, menggeleng. "Rengga mau belajar aja Bun, biar Rengga bisa jadi orang sukses, bisa bahagiakan adik-adik, kalau Rengga udah punya uang, Rengga bantu Ibun biayakan sekolah mereka, biar mereka bisa jadi orang hebat yang bisa bahagiakan Ibun."

Perempuan itu tersenyum tulus, lalu mengacak rambut hitam Rengga yang dipotong pendek. "Ibun udah senang punya kalian semua. Lihat kalian semua tumbuh besar rasanya ada kepuasan tersendiri bagi Ibun."

Puas? Entahlah, Rengga menghembus napas pajang, menerawang, menikmati angin yang berhembus ke arahnya, sedikit terasa sakit. "Seandainya semua orangtua di muka bumi ini kayak Ibun, mungkin semua anak-anak bakal bahagia, enggak ada yang namanya minim perhatian, minim kasih sayang dan pastinya..."

Rengga tersenyum menyeringai. "Enggak ada orangtua yang tega membuang anaknya."

"Rengga..." tegur perempuan itu menghentikan pikiran liar Rengga. Perempuan itu akui, Rengga memang anak asuhnya yang paling besar, yang paling dewasa, dan memiliki motivasi yang kuat.

Namun, disaat yang bersamaan, bisa jadi anak itu menjadi lebih jauh kekanak-kanakkan dan seolah-olah kehilangan tujuan. "Rengga enggak boleh bicara seperti itu, semua orangtua sayang sama anaknya, dengan cara yang berbeda dan alasan yang berbeda pula."

"Aku bicara berdasarkan fakta Bun," jawab Rengga berusaha mungkin ia merendahkan suara. Kedua matanya masih saja tak henti memerhatikan anak-anak yang tengah seru bermain di halaman sana.

Enak? Ya, mustahil jika ia tidak iri dengan anak-anak ini. Mereka selalu tampak ceria, tertawa seolah tanpa beban, tak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di otak seperti kenapa-aku-bisa-berada-di tempat-ini.

Sungguh berbanding terbalik dengan dirinya.

Rengga tertawa datar. "Aku memang tak tahu siapa orangtua ku, dan bodohnya setelah mereka melahirkanku, mereka membuangku. Seolah-olah akulah yang menyebabkan masalah, paling tidak berguna, dan mungkin..."

Perlahan, gigi Rengga menggertak geram, pikiran gila lagi-lagi berhasil mengendalikan fungsi otaknya, membuatnya merasa kacau, seolah-olah tengah berada di dunia lain. "Paling tidak diinginkan."

"Ibun enggak suka Rengga mikir gitu, Rengga ada karena Rengga berguna, ngerti?" jelas Ibun, berhasil membuat cowok itu terdiam.

"Rengga!!!!"

Rengga tersentak, begitu juga Ibun yang duduk berada di seberangnya. Suara nyaring nan cempreng tengah memanggilnya dengan keras, siapapun yang mendengarnya sudah dipastikan akan menutup telinga.

Rengga menoleh ke arah pintu, mendesis. Seorang cewek berambut hitam setengah bahu itu tengah menyipitkan mata tajam, lalu mengancungkan buku pelajaran ditangannya kehadapan Rengga dengan kasar.

"Rengga! Ajarin aku belajar!!!"

Rengga mengembus napas, panjang. Memasang wajah malas seraya menyeret satu lagi kursi rotan di sampingnya.

"Ya udah sini gue ajarin, Ven."

...

Thanks for reading guys, I hope you enjoy it. Kunjungi cerita ku yang lain juga ^^

Published 19.01.18

Next chap : 26.01.18

A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang