Jika ditanya kapan Rengga nyaris pernah merasa kehilangan akalnya? Maka jawabannya adalah kemarin.
Lalu, siapa seseorang yang berhasil membuat tubuhnya terasa dingin seolah-olah membeku di tempat? Maka jawabannya adalah Veni.
Dan bila ditanya alasannya mengapa, maka tak dipungkiri lagi alasannya karena cinta.
Dengan cinta seseorang dapat mengalahkan rasa takutnya. Dengan cinta seseorang bisa menurunkan sikap ego yang telah mengakar pada diri seseorang, dan dengan cinta pula seseorang dapat merasa hidup yang sebenarnya, merasa berarti serta tau apa alasan untuk bertahan.
Dengan sebuket mawar merah di tangannya, Rengga memejamkan mata. Dihembuskannya napas paerlahan-lahan sesekali menatap pintu kamar rumah sakit bernomor 104 itu.
Sudah dua puluh menit ia seperti ini dan Rengga berjanji jika ia masih terus begini selama dua menit lagi maka siapapun bebas menyebutnya pecundang.
Harusnya sekarang ia masuk, duduk di samping Veni, berbicara dengan cewek itu meskipun ia yakin 100% cewek itu masih enggan berbicara dengannya.
"Rengga..."
Rengga tersentak. Sontak saja cowok itu menoleh ke belakang bersiap siaga. Mana tahu saja ada makhluk yang tidak diinginkan datang secara tiba-tiba dan ingin mengajaknya berkenalan.
Namun reaksi itu terhenti seketika begitu melihat jelas siapa sosok yang memanggil namanya dan menepuk bahunya.
Rengga mengembus napas lega seraya menatap perempuan itu dengan pasrah. "Ibun, mending Ibun ganti hobi, jangan bikin Rengga jantungan bun."
Perempuan paruh baya itu tertawa, sama seperti sifat Veni dulu. Seberat apapun masalahnya ibu dan anak itu akan tertawa, tersenyum dan tak henti membagikan kecerian-keceriannya kepada orang di sekitar.
"Tolong jaga Veni sebentar ya, Ibun mau ke panti dulu, kasihan anak-anak. Soalnya penjaga panti yang lain juga pasti sibuk."
Rengga mengangguk, diam-diam mencengkram buket bunga di tangannya dengan erat. "Iya bun."
Perempuan itu berbalik badan, melangkah jauh, sekali lagi Rengga mengembus napas panjang, berusaha menormalkan setiap pikiran dan hatinya, mempersiapkan diri bagaimanapun reaksi dingin Veni yang diberikan kepadanya.
Ceklek!
Pintu terbuka, bau obat-obatan menyeruak seketika, tabung dan alat medis masih tertera di sana pasca kemotrapi yang baru beberapa jam dijalankan gadis itu.
Veni yang tadinya tengah menerawang jauh kini memejamkan mata. Rengga tau, selain kelelahan, cewek itu tampak ingin menghindarinya.
Rengga menggeser kursi plastik, lalu duduk di samping tempat tidur cewek itu. Diperhatikannya wajah pucat itu lalu meraih sebelah tangan Veni.
Veni membalas genggaman tangan Rengga dengan erat.
Sedikit terlonjak dengan reaksi Veni, Rengga meletakkan buket bunganya di samping Veni, menggenggam tangan kecil nan lentik itu dengan kedua tangannya.
"Ga..." lirih Veni.
"Iya Ven."
"Sakit," keluh Veni. Rengga menghembus napas panjang, mengangkat kedua alisnya. Seandainya bisa, dirinya lebih senang bila bertukar posisi dengan Veni. Biarkan dirinya menahan rasa sakit itu sekarang daripada melihat orang yang ia sayang berjuang dalam kondisi seperti ini.
Bukan seperti ini, hanya bisa diam, melihat cewek itu berjuang seorang diri.
"Tahan ya," jawab Rengga, memperhatikan wajah itu dengan lembut. "Gue tahu lo bisa."
Veni menggeleng pelan, kedua mata itu terbuka menampakkan suasana sayu dari mata cokelatnya.
"Terlalu banyak Ga, sakit di tubuhku, belum lagi sakit rasanya saat aku terus-terusan menjauh dari kamu. Jujur aku capek jauhin kamu terus, tapi aku enggak mau suatu saat nanti kamu jauh lebih terluka daripada ini."
Rengga tersenyum tipis. "Memang sakit bila ditinggalkan, tapi kalau gue boleh milih, lebih baik lo ninggalin gue karena waktu, bukan lo ninggalin gue karena takut."
Kedua alis Veni terangkat, tampak polos layaknya tatapan anak kecil. "Kamu mau aku gimana sekarang?" tanya Veni lemah.
"Ikuti kebahagiaan lo, jangan berubah, jangan pikirkan kebahagiaan gue. Dengan sendirinya gue bakal bisa belajar nerima kenyataan."
"Iya," Kedua sudut bibir pucat Veni terangkat ke atas, meraih buket bunga dari Rengga lalu menciumnya. Bau harum menyeruak memenuhi rongga dadanya. "Makasih ya?"
Rengga mengangguk.
"Ga, kemarin aku punya teman baru. Namanya kurang lebih mirip sama aku, dia baik, lembut, dan katanya dia lagi cari donor mata di rumah sakit ini."
Rengga mencondongkan tubuh. "Oh ya? Untuk siapa?"
"Dia," gumam Veni, wajah bundar itu tampak samar seketika lalu berusaha tersenyum kembali, begitu juga natanya menyipit senang.
Rengga tercengang.
"Namanya Venysha Pramaditya, seumuran dengan kita. Dan seandainya aku pergi nanti, aku harap kamu enggak kehilangan aku Ga."
Sungguh, Rengga merasa bodoh sekarang, tak mengerti apa inti pembicaraan Veni. Jika kemarin ia sering menginstrupsi Veni di kala cewek itu membicarakan hal yang berhubungan dengan kematian, maka sekarang Rengga hanya membiarkannya.
"Maksud?"
Veni melepaskan cengkraman tangannya dari Rengga, lalu meletakkan telapak tangan halusnya di atas tangan yang yengah tergepal erat itu.
"Aku bakal yang jadi pendonornya, dengan begitu ada sebagian diriku yang masih bisa kamu lihat. Seandainya nanti kamu ketemu orangnya, kamu kenalan sama dia ya?"
Napas Rengga seakan terhenti seketika, dirinya yang tadi menunduk kini diam-diam melirik Veni, hebat sekali bahkan Veni bisa mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu dengan tenang.
Sebelah sudut bibir Rengga terangkat, menggeleng setengah tidak percaya lalu melihat Veni dengan nanar. "Harus?"
Veni mengangguk. "Kamu harus punya banyak teman Ga, enggak selamanya, aku, Ibun, selalu berada di samping kamu."
Tak ingin berdebat lebih jauh dengan Veni, Rengga terpaksa mengiyakan.
Veni menarik napas panjang-panjang, cewek itu memejamkan mata sejenak lalu memperhatikan Rengga, tangan halusnya terangkat, mengelus rambut hitam Rengga.
Diam-diam Rengga menggertak giginya erat, berusaha menahan segala bentuk emosi negatif yang berhasil menguasai tubuhnya. Bodoh jika ia mengatakan ia tidak ingin Veni tetap di sini, ia tak ingin Veni membicarakan kematian, donor mata atau apapun yang merusak pikirannya. Tapi... bagaimana bisa cewek itu mempersiapkan semuanya terlebih dahulu? Seolah-olah merasa waktunya hanya tinggal sedikit lagi?
"Makasih Ga," Tangan itu terulur turun, kembali menggenggam buket mawar di tangannya, namun kedua bola mata cewek itu tak henti memperhatikan kedua mata bundar Rengga.
"Rengga, kamu mau kabulkan permintaan aku enggak?"
Tanpa suara, kedua alis Rengga terangkat.
Veni bergumam, mengangkat bibir bawahnya. "Aku dengar minggu depan ada pensi di sekolah kita, kamu nyanyi ya, nanti aku lihat," suruh Veni, tersenyum lembut.
"Ven tapi kondisi lo..."
"Pasti sembuh," tekan Veni, yakin. Rasa senang sedikit menyelimuti cewek itu melihat diri Rengga yang sekarang, tidak kaku dan penuh perhatian.
Seandainya saja ia bisa meminta, ia hanya ingin memanjangkan waktunya sejenak.
___
Publish : 27.02.18
next : 03.03.18
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]
Ficción General[SEQUEL A Thousand Stars for Nathan] "Hati memang satu, tapi ruangnya ada 1000. Dan aku harap, kamu bisa nempati 1000 ruang itu." -Veny- ___ Ini tentang Nathan dan Veny, ini tentang dua orang saling terikat dalam hubungan yang berbeda. Bukan pacaran...