13 : : Deep In My Heart

2.3K 218 6
                                    

Menangis adalah kodrat manusia. Jalani saja, jika kau sedih menangislah. Karena jika kau tidak menangis, bukan berarti kau akan menjadi kuat, melainkan tubuhmu akan direnggut oleh rasa sakit itu dan akan menjadi lemah.

~A Thousand Hearts for Veny

...

Dua minggu.

Rengga, cowok yang tengah mengenakan jaket abu-abunya itu bergumam seraya berjalan menyusuri koridor kelas dengan santai.

Benar-benar tepat dua minggu Veni mengistirahatkan diri dari yang namanya sekolah, cewek itu pasti sudah banyak tertinggal materi pelajaran dan jika sudah tertinggal pasti ada rasa enggan mau melanjutkannya kembali.

Rengga mengalihkan pandangan, memerhatikan langit yang tengah menyelimuti kota Jakarta, tidak begitu cerah hari ini, tampak terlihat gelap, dan berangin layaknya pertanda ingin hujan.

Veni yang berjalan beberapa langkah di depan Rengga sontak menoleh ke belakang dengan kesal. "Rengga! Aku udah bilang! Aku mau sendiri!"

Rengga menggeleng. Dulu ketika dirinya hanya ingin menyendiri, Veni selalu berada di sampingnya, sekarang tidak adil rasanya bila ia tidak menemani cewek itu. Lagipula Ibun memberinya pesan untuk menjaga Veni kan?

Langkah Rengga terhenti mendadak, memerhatikan punggung Veni yang berselimutkan sweater kuning itu.

Bicara tentang Ibun, ia baru ingat banyak pertanyaan yang imgin ia ajukan kepada Veni sekarang, mengingat dua minggu di panti kemarin ia tidak bisa berbicara banyak dengan Veni.

"Ven!" panggil Rengga berlari kecil lalu mencengkram sebelah tangan jenjang itu dengan erat.

Veni menghentikan langkah, wajah bundar nan pucat milik cewek itu menoleh belakang, setengah hati menoleh ke sumber suara yang memanggil namanya.

Kedua alis tebal Rengga terangkat, menatap Veni dengan lembut. "Kita duduk dulu ya, muka lo pucat lagi, tangannya juga dingin."

Pukk!

Sontak gepalan tangan Veni berhasil melayang di perut Rengga, Rengga meringis, bahkan dengan kondisi seperti itu saja pukulan Veni masih tetap terasa sakit.

Kedua mata Veni menyipit tajam. "Harus berapa kali sih aku bilang ke orang-orang! Aku mau sendiri! Jangan perlakukan aku kayak orang sakit mengerti!"

"Memang lo lagi sakit Ven," balas Rengga, tenang.

"Enggak!" bentak Veni, cewek itu menjinjitkan tubuh, berusaha menyetarakan tinggi tubuhnya dengan Rengga. "Aku sehat, kalau kamu enggak percaya, kamu lihat mata aku, aku enggak bohong."

Rengga mengerjap, memerhatikan pemilik mata cokelat pekat itu dengan seksama. Dalam hati ingin saja ia tertawa sinis. Enggak bohong?

Bodoh. Dari matanya saja, sudah jelas-jelas Veni berbohong, mata cokelat itu seolah-olah memohon padanya untuk mengiyakan dan lagipula tampak berair.

Tak ingin membuat cewek itu jauh lebih terluka lagi, Rengga mengembus napas panjang, mengangguk, lalu menarik tangan jenjang Veni ke sebuah bangku putih panjang yang berada di sekitar taman sekolah.

Kedua alis Rengga terangkat, memerhatikan Veni yang akhir-akhir ini tampak terlihat ogah berbicara dengannya.

"Ven, gue ada salah? Kenapa lo jauhin gue?"

Veni memalingkan wajah, malas melihat Rengga. "Karena menjauh memang cara yang lebih baik, semakin aku dekat kamu, kamu semakin terluka."

"Gue enggak keberatan lo ada di dekat gue sekarang," jawab Rengga.

Tak sesuai dengan harapan Rengga, jika awalnya ia mengira Veni akan luluh dengan ucapannya, malah ini menjadi sebaliknya, cewek itu semakin jauh tampak menyeramkan.

Jari-jari lentik Veni tergepal, giginya menggertak geram, berusaha menahan air di matanya. "Mungkin sekarang enggak Ga, tapi nanti aku jadi orang yang paling jahat buat kamu, aku orang paling menyebalkan yang membuka ketakutan-ketakutan kamu."

"Gue?" tanya Rengga bingung, mengangkat sebelah bibirnya. "Emang gue kenapa?"

Angin berhembus kencang, daun-daun kering yang tadinya merekat di pepohonan kini mulai terbang melayang indah. Veni menoleh ke arah kanan, memerhatikan bola mata Rengga dengan menekankan.

"Ibun pasti udah cerita ke kamu gimana kondisi aku beberapa minggu kemarin."

Rengga menggeleng pelan, membalas tatapan cewek itu, dengan lembut. Malah Ibun menyuruhnya untuk bertanya langsung kepada cewek ini kan?

"Jangan bohong Ga!" bentak Veni. Nihil, bulir air mata yang sudah ia tahan sejak pagi kini jatuh begitu mudahnya, Veni menggeram, memukul-mukul tubuh Rengga dengan gepalan tangannya.

Begitu pelan dan rasanya tanpa tenaga.

"Aku bakal ninggalin kamu Ga! Aku bakal jadi orang jahat yang pernah hadir di hidup kamu! Hari-hari aku untuk hidup sudah bisa dihitung sekarang, hanya beberapa bulan dan..."

Rengga terdiam seketika, awan gelap kini mulai menyelimuti begitu juga angin kencang yang tampaknya berhasil mebuat waktu terhenti. Veni mendongak, mencengkram jaket abu-abu itu dengan erat, seraya menggigit bawah bibirnya, ketakutan.

"Aku bakal mati."

"Jangan bodoh," sembur Rengga, membenarkan letak poni cewek itu, lalu mengusap bulir air yang dihasilkan oleh kedua mata cokelat pekat itu.

"Lo bukan Tuhan yang bakal tahu kapan waktu kematian seseorang," Sebelah sudut bibir Rengga terangkat, mencondongkan tubuh, mendaratkan sebelah tangannya kepuncak kepala cewek itu. "Emang apa yang membuat lo bisa sampai berpikiran kayak gini hmm?"

"Sama seperti Ayahku dulu, kanker usus besar stadium akhir."

Tubuh Rengga membatu. Kini waktu rasanya benar-benar berhenti, bukan hanya waktu, napasnya yang tadi berhembus dengan normal sekarang terasa tertahan tidak dapat sedikit pun untuk dihembuskan.

Veni tersenyum sinis, melepaskan cengkramannya dari jaket Rengga. "Makasih udah mau jadi teman aku, makasih semua waktunya. Mulai hari ini aku bakal jaga jarak dari kamu."

Hening, tak ada jawaban dari Rengga.

Veni tertawa renyah, bangkit dari duduknya, sekali lagi mengusap mata dengan punggung tangannya, lalu menepuk-nepuk sebelah pundak Rengga dengan pelan.

"Jaga diri kamu. Kamu enggak pantas untuk disakiti."

Tubuh dengan balutan sweater itu berbalik badan, menjauhi Rengga yang baru saja dihantam dengan jutaan rasa sakitnya.

...
Publish : 13.02.18

Next chap : 20.02.18

A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang