12 : : She's Drop

2.6K 227 2
                                    

Gimana kalau sebenarnya orang itu enggak mau ninggalin kamu, tapi takdir yang malah mengharuskan mereka pisah?

~A Thousand Hearts for Veny

...

Angin siang berhembus kencang, langit tampak biru terang dipadukan dengan serabut kapas putih dari atas sana. Tampak begitu cerah.

Dan seperti biasa pula. Dirinya, Varengga Vernanda tak pernah merasa baik, tenang, dan selalu berdebat dengan pikiran-pikiran liarnya. Rengga berdecak, cowok yang sudah setengah jam duduk di teras panti itu menopang kepala dengan sebelah tangan, tak lupa pula menunduk, menutup matanya.

Tadi setelah ia memberikan air hangat dan memberi sebotol minyak kayu putih untuk Veni, Ibun menyuruhnya untuk menjauh sejenak, mungkin agar Veni tidak terganggu dan tampaknya ada banyak hal yang ingin diceritakan oleh perenpuan paruh baya itu.

"Kamu enggak bosan kaku kayak gitu Ga?"

Rengga yang tadi tengah serius dengan bukunya, menoleh ke arah teman sebangkunya. Venita Lusiana. Satu orang yang secara ajaib ingin berteman dengan robot seperti dirinya."Enggak, gue nyaman."

"Apa enaknya sih jadi orang kaku?" gerutu Veni, seraya berbisik kesal, menyambar pena hitam di atas meja Rengga.

Rengga melirik, lalu kembali kepada bukunya kembali. "Lo enggak punya hubungan serius dengan orang-orang."

Rengga mengacak rambutnya dengan kesal, ia tak ingin terikat dengan apapun. Terikat dengan seseorang hanya bisa merepotkan dirinya. Baiklah, mungkin awalnya ia merasa senang. Namun lama kelamaan rasa senang itu akan berganti menjadi sakit yang teramat sangat.

Dan bodohnya, beberapa hari ini ia mulai merasa nyaman dengan beberapa orang.

Pertama Ibun, perempuan yang membesarkannya sepenuh hati.

Kedua Veni, cewek berisik yang tak kunjung berhenti terlibat dalam masalah. Bukan hanya itu, banyak ciri khas yang melekat pada diri Veni. Contohnya saja berbicara aku-kamu layaknya cewek tulen namun tak dipungkiri gaya tomboi lebih mendominasi pada penampilannya.

Tanpa sadar, kedua sudut bibir Rengga terangkat ke atas, tersenyum malu.

Perlahan Rengga menoleh belakang, memerhatikan cewek yang tengah tertidur pulas di atas sofa dari kaca jendela, seragam OSIS masih melekat pada tubuh cewek itu, begitu juga dengan dirinya. Lagipula dirinya juga belum sama-sama makan siang.

Benar kata orang, ketika jatuh cinta, dua insan manusia lebih cenderung mencari kesamaan.

Kini, Rengga memijit kedua pelipisnya pelan, dengan sedikit harapan dapat mengurangi rasa pusing yang mendera di kepalanya.

Disatu sisi, pikirannya memberi maaf serta peluang untuk menjadi lebih baik, menikmati rasa bahagia yang berada di muka bumi ini, dengan terikat kepada orang-orang yang ia sayangi. Namun disisi lain, adakalanya ia ingin menolak mentah-mentah, tidak membiarkan dirinya merasa kehilangan.

"Kamu kayak gini karena kamu takut. Kamu menghindari satu hal padahal sebenarnya hal itu wajar. Ditinggal dan meninggalkan, itu sudah wajar bagi semua orang."

Wajar? Sekali lagi Rengga memejamkan mata, menelan ludah. Baiklah, meninggal atau ditinggal itu wajar. Dirinya tak boleh bersikap kaku nan dingin seperti ini.

Dirinya harus belajar terbuka, sedikit demi sedikit. Oke, ia mengerti.

"Rengga..."

Sontak Rengga menoleh ke belakang, tersenyum, menepuk kursi dari anyaman rotan itu dengan pelan. Bukan Veni yang memanggilnya namun Ibun.

Dirinya yakin, pasti perempuan paruh baya itu sedikit takjub melihat tingkah lakunya.

Ibun mendaratkan tubuh di atas kursi seraya mengernyit, memerhatikan salah satu anaknya dengan heran. "Rengga senyum? Ada apa?"

Kedua sudut bibir Rengga terangkat lalu menyandarkan punggung tegapnya ke arah kursi.

"Rengga mau berubah Bun, Rengga tetap fokus belajar, tapi Rengga enggak akan pernah lupa untuk dekat dengan orang-orang."

Perempuan itu masih mengernyit, namun tak dipungkiri ada perasaan lega di balik kebingungannya. Kedua sudut bibir perempuan itu terangkat. "Ibun senang lihat Rengga udah mau berubah, kalau Ibun boleh tahu, siapa yang berhasil membuka pikiran anak Ibun ini, hm?"

Rengga menunduk malu, mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Veni bun. Rengga udah berusaha nepis pikiran sama hati Rengga buat enggak terikat sama-sama orang, tapi Rengga capek, Rengga pengen hidup normal."

Perempuan itu tercengang sejenak, memerhatikan anak gadisnya yang tengah tertidur dari kaca jendela depan lalu tersenyum tipis.

"Kamu berhasil sayang," gumam wanita itu.

"Berhasil?" tanya Rengga heran.

Perempuan paruh baya itu mengangguk. "Membuka hati, berbicara dengan orang-orang, dan melihat kamu tertawa, itu salah satu harapan Veni, Veni pernah cerita sama Ibun kalau dia cemas lihat kamu seperti terus."

Hening sejenak, Rengga terdiam mulai bergelut dengan pikiran dan perasaannya. Veni, orang yang ia kira hanya iseng untuk mendekatinya, mengacaukan hidupnya, ternyata malah kebalikannya, cewek itu mencemaskannya?

Cemas?

Perlahan kedua tangan Rengga tergepal, menerawang seraya mengutuki diri. Bodoh, bagaimana bisa cewek itu menyembunyikan perasaan negatifnya dengan sebuah senyuman?

Jujur saja, ia seorang Varengga Vernanda berusaha untuk ogah-ogahan menerima kehadiran Veni, berusaha menjawab sesingkat mungkin, dan paling-paling hanya dekat bila cewek itu memaksanya untuk mengajar beberapa pelajaran.

"Rengga, Ibun boleh minta tolong?"

Rengga tersentak, mengerjapkan matanya sejenak, lalu menoleh ke arah Ibun, mengangguk. "Boleh bun."

"Selama Ibun enggak ada di samping Veni, Rengga bisa tolong jaga Veni? Ibun takut kalau keadaan Veni tiba-tiba seperti tadi."

Rengga mengernyit, setahunya Veni hanya sakit perut, kenapa Ibun bisa secemas ini?

Belum sempat Rengga berbicara, perempuan itu tersenyum maklum, seolah-olah sudah menebak jalan pikiran Rengga sebelumnya. "Kalau Rengga mau tahu lebih banyak tentang Veni, Rengga bisa tanya langsung ke orangnya. Ibun rasa Veni enggak keberatan ditanya sama kamu."

Rengga mengangguk pelan, perempuan paruh baya itu kembali masuk ke dalam panti, bukan hanya mengurus anak-anak kecil di sana, tapi juga melihat keadaan anak gadisnya itu.

Rengga memejamkan mata, menyandarkan punggungnya seraya menggigit salah satu jarinya dengan cemas.

Kenapa begitu banyak hal yang Veni rahasiakan dari orang-orang sekitarnya?

....

Published : 08.02.18

Next :  13.02.18

Thanks for reading, i hope you enjoy it.

Vote comment biar makin berkah 😂

A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang