30 : : Weakness

1.8K 189 9
                                    

Manusia diam bukan berarti lemah. Melainkan dewasa karena tak ingin memperpanjang masalah.

~A Thousand Hearts for Veny

...

Entah mulai sejak kapan, Veny tak pernah tahu apa keinginannya. Ya, pikirannya seakan linglung, tubuhnya seakan bingung ingin kemana.

Jika berada di luar, ia selalu mencemaskan Papa. Tapi jika ia di rumah sakit, berada di ruangan bernuansa obat-obatan itu bersama Papa, entahlah dirinya tidak siap, dirinya seakan-akan tidak bernapas, apalagi saat menghadapi sikap Papa.

Dingin, selalu berbicara dengan nada tinggi, Papa yang sekarang bukan seperti Papa yang Veny kenal.

Sudah satu jam Veny bungkam, pemilik mata cokelat yang tengah duduk di sofa itu tak henti memerhatikan Nathan begitu juga Papa.

Jangan tebak apa yang tengah dilakukan kedua pria itu sekarang. Bukan mengobrol atau sekedar menemani, melainkan mengurus pekerjaan, Alvin yang duduk di samping ranjang Papa itu sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di sekelilingnya.

Padahal Veny tau betul apa yang tengah Alvin rasakan sekarang, cowok itu baru saja usai dari pekerjaannya di kafe. Belum sempat beristirahat, Alvin langsung saja mengatur, menghitung, dan meng-input berkas-berkas itu.

Semoga cowok itu tidak kelelahan, hingga melupakan tugas pokok utamanya untuk belajar.

Kedua sudut bibir Alvin terangkat, mata tampak berbinar begitu semangat. "Cita-cita saya mungkin agak aneh. Menjadi pilot, dokter, dan guru sama sekali tidak terlintas di benak saya sedari dulu. Cita-cita saya hanyalah bekerja keras dan membahagiakan orang yang sayang."

Diam-diam kedua sudut bibir Veny terangkat, memerhatikan pemilik punggung tegap itu dengan kagum.

Tak disangka awal pertemuannya dengan Alvin dapat sejauh ini, yang awalnya dimulai saat Veny meminta tanda tangan cowok itu, lalu berbincang kemana SMA yang akan dituju, hingga membawa jalan hingga ke sini. Nathan menyusulnya ke kota Oxford ini.

Sungguh, Veny merasa beruntung dapat bertemu Alvin.

"Veny..."

Lamunan Veny buyar, cewek itu bangkit dari duduknya lalu menghampiri Papa. Pria yang tengah terbaring lemas itu memejamkan mata sejenak, berusaha mengumpulkan tenaga, lalu meraih tas hitam di meja kecil sampingnya.

"Bantu hitung," suruh Papa, setengah melemparkan kertas itu ke arah Veny.

Veny meraih pensil dan peralatan menghitung lainnya. Kedua alis tebal cewek itu mengernyit, menghitung lalu memerhatikan angka-angka itu dengan tekun.

Jujur, memang ini untuk pertama kalinya Veny memegang lembar-lembar pekerjaan Papa, namun ini bukan pertama kali ia melihat cara kerja dan hitungan kertas ini. Jika kemarin Mama yang selalu menolong Papa dalam menghitung, dan mengakomodir kegiatan perusahaan. Maka sekarang gilirannyalah yang harus seperti Mama.

Mama sibuk, selain mengurus Papa di rumah sakit, Mama juga harus mengurus rumah sejenak lalu pergi ke perusahaan untuk mengecek produktivitas karyawan dan data-data lainnya.

Di saat-saat seperti ini dirinya tidak boleh banyak menuntut, tidak boleh terlalu sering mengeluh, dan banyak lahi hal yang dapat merepotkan Mama.

A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang