Kenapa kita harus merasa kehilangan terlebih dahulu agar tahu arti cinta yang sesungguhnya?
~A Thousand Hearts for Veny
...
Seumur hidup baru kali inilah Veny merasakan dirinya menembus batas. Tak pernah ia berangkat terlalu jauh hanya dengan bermodalkan koper kecil dan uang seorang diri. Semalam, entahlah ketika membuka satu persatu lipatan kertas bintang yang disimpan oleh Alvin, seolah-olah ada banyak hal yang ia rindukan.
Ketika membaca harapan-harapannya yang tertulis di sana, entah mengapa dirinya seperti hidup seketika, seperti ada yang menamparnya begitu kuat, dan menyadarkannya bahwa banyak harapan yang dulu ingin ia wujudkan ketika masa sekolah.
Disini, di kota ia lahir, tersimpan begitu banyak harapan yang sempat ia lupakan, tersimpan begitu banyak orang yang sangat berharga baginya.
Langkah Veny terhenti, kedua matanya memerhatikan perkarangan halaman rumah Alvin. Tampak begitu indah, berbagai tanaman masih saja tumbuh dengan baik di sana, belum lagi satu hal yang sangat dirindukan Veny di negara ini adalah sinar mataharinya, terasa panas ketika menyentuh kulit, dan labgit yang begitu indah bila diperhatikan, mulai dari suasana pagi hari, maupun ketika terbenam seperti ini.
Veny tersenyum tipis, mencoba mengetuk pintu rumah itu.
Dari luar, dapat ia dengar suara Mama Alvin, terdengar kecil namun setengah berteriak memanggil nama Alvan, menyuruh anaknya itu untuk membuka pintu. Suara Alvan terdengar, cowok itu seperti enggan menghiraukan perintah Mama.
Ceklek!
Pintu terbuka. Perlahan kedua sudut bibir Veny terangkat, tersenyum senang memerhatikan seseorang di depannya. Alvan. Sungguh, ekspresi cowok itu berbeda dari apa yang Veny harapkan, Alvan yang terakhir kali Veny lihat adalah Alvan yang benar-benar menyenangkan, cowok itu masih saja selalu dikejar-kejar oleh adik tingkat, dan sebuah senyuman tampak terukir di bibirnya, membuatnya terlihat manis.
Bukan seperti ini, tampak datar dan sangat tidak bersahabat.
Berusaha mungkin Veny tetap tersenyum. "Alvan? Hei! Ini aku, Veny. Kamu ingatkan? Kamu enggak lupa kan sama aku? Aku sahabat kamu."
Alvan tersenyum sinis, dan Veny berharap wajah tak senang itu hanya sekedar halusinasi gilanya semata. "Gue enggak kenal lo!"
Brakk!!
Pintu ditutup dengan kencang. Berhasil membuat Veny terlonjak, mundur selangkah. Bukan hanya Veny, mungkin perempuan paruh baya yang berada di dalam rumah itu juga ikut terlonjak mendengar suara bantingan pintu dari anaknya.
Wajah Veny memucat, secepat mungkin cewek itu mengepal kedua tangannya erat, menahan getaran tubuhnya. Sungguh Veny benci di saat situasi seperti ini, dirinya begitu benci ketika ia tidak cukup kuat mendengar suara-suara yang keras di sekelilingnya, entah itu bantingan pintu, bentakan, atau sejenisnya.
Entahlah semua itu mengingatkannya pada Papa, ketika Papa membentaknya, mengatakannya lemah, dan ketika pria itu melemparkan berkas-berkas kerja dengan kasar tepat ke wajahnya.
Gila! Pikiran seakan-akan terasa gila sekarang.
Pintu terbuka kembali, bukan Alvan. Beruntunglah, kali ini perempuan paruh baya yang menyambutnya, wajah perempuan itu tampak melirik kesal ke arah Alvan yang sudah berada di lantai atas sekilas, lalu tersenyum tampak terkejut begitu memerhatikan Veny di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Thousand Hearts for Veny [COMPLETE]
Fiction générale[SEQUEL A Thousand Stars for Nathan] "Hati memang satu, tapi ruangnya ada 1000. Dan aku harap, kamu bisa nempati 1000 ruang itu." -Veny- ___ Ini tentang Nathan dan Veny, ini tentang dua orang saling terikat dalam hubungan yang berbeda. Bukan pacaran...