10. Perang Batin Edenin

9.3K 521 5
                                    

Malam semakin larut namun Edenin masih belum memejamkan matanya. Ia tidak dapat tidur karena memikirkan kejadian saat makan malam tadi. Pikirannya mulai menerawang menyusuri lorong waktu.

"Kamu nakal! Kata mama aku nggak boleh lagi maen sama kamu! Aku nggak mau maen boneka sama kamu!!!" bentak Edenin yang baru berusia sebelas tahun sambil berlari menjauhi adiknya.


"Aku juga nggak mau maen sama kakak!! Aku nggak akan pernah ajak kakak ngomong lagi!!" balas Verinda sengit dengan kedua tangan mengepal memandang kepergian kakaknya.

Edenin menggeleng cepat sambil menepuk kepalanya.

"Kenapa tiba-tiba gue bisa inget kejadian itu sih?!" Edenin menghela nafas sambil memejamkan matanya.

Kalo nggak salah sejak itu dia nggak pernah lagi ngajak ngomong aku.... Nyaris sepanjang malam Edenin tidak bisa terlelap. Semalaman otaknya memutarkan kembali rekaman kejadian-kejadian pertengkarannya dengan Verinda saat masih kecil. Ia baru terlelap menjelang subuh.


Edenin terpesona menatap hamparan hijau pemandangan yang tidak asing baginya. Ia menebarkan pandangannya ke segala arah. Sebenernya gue ada dimana ini? Pandangan matanya terhenti pada satu titik. Tak lama kedua bola matanya membesar menyadari apa yang ada dihadapannya.

"K-kakek?!" teriak Edenin tidak percaya.

Sang kakek yang berpakaian serba putih itu tersenyum memandang cucunya. Edenin segera menghambur lalu memeluk hangat kakek yang sangat dirindukannya.

"Kakek aku kangen banget sama kakek!! Kakek dari mana aja sih?!"

Kakek kembali tersenyum sambil mengelus wajah cucunya. Namun tak lama wajah kakek terlihat sedih. Kedua matanya berkaca-kaca menatap Edenin.

"Kakek kenapa? Kok sedih? Kakek nggak seneng ketemu aku, iya?"


Kakek tetap saja diam dan terus menatap lekat Edenin. Perlahan ia mundur lalu berbalik menjauhi cucunya. Edenin bingung melihat sikap kakeknya.

"Lho kakek?! Kakek jangan pergi lagi dong!! Aku kan masih kangen banget sama kakek!" rengek Edenin.

Kakek terus berjalan menjauh tanpa mempedulikan Edenin yang mulai menangis. Tak seberapa lama dan entah dari mana datangnya, Verinda tiba-tiba telah berada di sebelah Edenin.

"V-ver?! Elo kenapa ada disini?" katanya heran sambil sesenggukan.

Verinda diam saja sambil menatap kakaknya. Ia mengalihkan pandangannya pada kakeknya yang terlihat semakin jauh.

"Kakek." Kata Verinda dengan suara pelan yang nyaris berbisik.

Edenin tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sang kakek menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Verinda. Nggak mungkin!! Gimana mungkin kakek bisa denger suara panggilan Verinda yang pelan banget?! Padahal dari tadi aku panggil, kakek nggak mau berhenti.

Verinda tersenyum lembut menatap kakeknya. Wajah kakek yang semula nampak sedih perlahan tersenyum. Verinda berjalan menghampiri kakeknya lalu kemudian mereka berjalan beriringan meninggalkan Edenin begitu saja.

"TUNGGU!!" teriak Edenin berusaha menyusul mereka.

Edenin segera terbangun dari tidurnya. Tanpa sadar ia benar-benar menangis ketika sedang bermimpi tadi. Keringat dari dahinya bercucuran. Selama beberapa saat ia tertegun dan baru menyadari bahwa tadi ia sedang bermimpi.

"Cuman mimpi." Katanya sambil menghapus keringat dan air matanya.

Mama membuka pintu kamar Edenin. Mama sedikit kaget mengetahui Edenin sudah bangun terlebih dahulu.

"Lho, tumben kamu udah bangun? Biasanya kalo mama nggak bangunin, kamu nggak bangun. " Kata mama menghampiri Edenin lalu mencium keningnya.

Edenin hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan mama. Ia masih dapat mengingat jelas mimpi yang barusan ia alami. Kenapa tiba-tiba aku mimpi kakek? Mana ada si Ver lagi-tumben gue mimpi kayak gitu... apa artinya, ya?

"Kamu mandi sana, gih. Abis itu sholat. Mama siapin sarapan dulu."

Edenin segera mengiyakan perintah mamanya. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi yang ada di kamarnya.

"Mbok Tun, sarapan buat non Cheli udah siap, kan?" tanya mama sambil menghampiri meja makan untuk melakukan inspeksi.

Mbok Tun mengangguk hormat sambil tetap sibuk menghidangkan makanan di meja. Mama mengangguk sambil membantu mbok Tun menata piring.

"Pagi ini aku ada arisan ibu-ibu kompleks. Siangnya harus nemenin ibu-ibu pejabat shopping. Mungkin acaranya bisa sampai sore atau malam, mbok. Tolong mbok atur semua keperluan Chelia seperti kataku tadi. Kalo urusan si Ver mbok aja yang atur semuanya-kan udah hafal juga."

"Baik, nyonya." Jawab mbok Tun yang diiringi kepergian mama.

Mbok Tun menatap majikannya dengan menghela nafas panjang. Dari dulu yang dipikirin cuman keperluan non Chelia aja... dasar nyonya! Kan kasian non Ver! Mbok Tun akhirnya hanya bisa menggeleng prihatin. Edenin lalu datang di ruang makan. Mbok Tun segera menghidangkan sarapan untuk nona mudanya.

"Makasih mbok!" kata Edenin sambil tersenyum.

"Sama-sama, non." Jawab mbok Tun sambil beranjak menuju dapur.

Edenin terdiam sejenak menatap sarapannya. Ia mengerutkan alisnya sambil menebarkan pandangannya ke segala penjuru ruang makan. Kok sepi?

"Mbok, kok sepi sih?! Orang rumah pada kemana?"

"Papa udah berangkat dari sebelum subuh. Katanya ada rapat di luar kota, non. Mungkin bakal nginep berapa hari."

"Kalo mama?"

"Mama lagi siap-siap di kamarnya, non. Hari ini ada acara arisan ibu-ibu kompleks dan jalan-jalan sama ibu-ibu pejabat seharian."

Edenin manggut-manggut mendengar penjelasan mbok Tun. Yah, bakal sepi mpe ntar malem. Duh, enaknya ngapain ya?! Mana hari ini Raya, Nadia, Nia pada punya acara sendiri pas abis pulang sekolah! Bete...!!

"Kalo non Ver juga udah berangkat ke sekolah dari tadi." Kata mbok Tun menjelaskan walau tanpa ditanya.

"Hah?" kata Edenin yang baru tersadar dari lamunannya.

"Kalo non Ver juga udah berangkat ke sekolah dari tadi, non. Makanya di rumah udah sepi. Lagian, menurut mbok dari dulu ya wes suasananya emang sering kayak gini toh, non."

Edenin tertegun mendengar penjelasan mbok Tun. Ia seolah baru menyadari kebiasaan paginya yang memang sering sarapan sendirian selama ini. Ia lalu melirik ke arah arlojinya.

"Pagi amat berangkatnya! Sekarang aja baru jam setengah enam!" kata Edenin heran sambil menyendok sarapannya

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang