Verinda berusaha membuka kedua matanya yang terasa sangat berat. Ia mulai mendapat kesadarannya setelah ia merasa ada tetesan air membasahi tangannya. Ia mencoba mengejapkan matanya tapi padangan masih kabur. Perlahan kedua tangannya mencoba bergerak. Edenin yang saat itu sedang tertunduk menangis di tangan Verinda langsung mendongak.
"Ver?! Elo udah sadar?!" katanya dengan sedikit lega.
Verinda diam tidak menjawab. Ia masih belum ingat sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ia menatap kakaknya dengan heran.
"Ngapain lo nangis?" tanyanya lemah tapi tetap bernada cuek dan dingin.
Ekspresi wajah Edenin sedikit berubah mendengar pertanyaan adiknya. Dasar reseeeeh!! Bukannya berhenti, tangis Edenin makin gawat.
Verinda jadi takut sendiri melihat kakaknya. Perlahan ia berusaha bangkit dari tidurnya. Ia kembali menatap kakaknya yang masih terus menangis dengan tampang bego. Dia kenapa sih?! Aneh!
Edenin mendadak meninju pelan lengan Verinda.
"Aow!" Verinda langsung mengaduh sambil mengelus lengannya. "APA-APAAN SIH LO?!" bentaknya marah sambil menatap tajam Edenin.
Edenin masih sesenggukan sambil menatap adiknya. Saat menatap Verinda air matanya terus mengalir. Verinda mendadak jadi tidak bisa marah lagi.
"Elo yang apa-apaan?!" kata Edenin kemudian sambil kembali meninju pelan lengan Verinda. Kali ini Verinda tidak beraksi. "Kenapa pake pingsan segala, hah?! Sialan!! Elo udah bikin gue kuatir setengah mati tau?!" lanjutnya dengan tangisan yang kembali pecah sambil menghambur memeluk Verinda.
Verinda langsung speechless total. Ia diam tidak bergerak. Kedua tangannya tetap dibiarkan terkulai ke bawah.
Edenin terus menangis sambil membenamkan wajahnya ke bahu adiknya. Ver, gue harus ngapain?! Harus ngapain biar bisa nolongin elo?! Edenin semakin mempererat pelukannya. Gue nggak mau kehilangan adik yang resehnya kayak elo!
Verinda perlahan menggerakkan kedua tangannya dengan ragu. Ia ingin menepuk pundak kakaknya namun ia teringat sesuatu. Ia langsung membatalkan niatnya. NGGAK!! Dia bukan kakak gue! Bukan saudara kandung gue! Sebagai gantinya, ia malah mendorong mundur kakaknya.
"Apa-apaan sih lo?! Risih tau nggak?!" bentak Verinda berusaha marah.
Edenin kaget dengan sikap Verinda. Selama beberapa saat keduanya diam dan saling tatap. Akhirnya, Verinda memecahkan keheningan.
"Gue mau istirahat. Tutup pintunya dari luar." Verinda langsung merebahkan diri dengan posisi badan condong ke samping menghindari Edenin.
Edenin kembali dibuat kaget dengan sikap Verinda. Namun ia tidak ingin berdebat dan memilih untuk mengalah. Ia menghela nafas panjang sambil beranjak keluar.
"Ya udah. Elo istirahat aja." Katanya sebelum menutup pintu.
Verinda pura-pura memejamkan mata dan tidak menjawab Edenin. Ia kembali membuka matanya setelah yakin kakaknya benar-benar keluar dari kamarnya. Ia kemudian bangkit dari tidurnya.
"Maaf." Gumamnya pelan.
"Ngelamun lagi pasti!" tebak mbok Tun sambil menyajikan secangkir teh untuk Verinda di pendopo tepi kolam. Verinda hanya menanggapinya dengan senyum tipis lalu pandangannya kembali kosong. Mbok Tun hanya bisa menggeleng tidak habis pikir. "Non," mbok Tun lalu duduk di samping Verinda.
Verinda tetap diam tidak bergeming. Ia menatap pengasuh setianya itu dari sudut matanya. Tiga hari berlalu sejak kepulangannya mendadak dari Bogor.
"Kenapa toh, non? Akhir-akhir ini non berubah banget. Mbok ini orang goblok ndak bisa baca tulis, tapi... bisa jadi pendengar yang baek kok, non."
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...