26. Konfrontasi (2)

6.3K 390 7
                                    

Verinda duduk berselonjor di pendopo dengan tangan kanan mengetuk-ngetuk pelan dagunya. Seharian tadi yang bisa gue dapetin cuman nol. Gue nggak bisa nemuin dia di rumah apalagi kantornya. Satu-satunya akses bebas kalo orang itu dateng ke club. Verinda menarik nafas panjang sambil menggosok keningnya mencari solusi. Club, tempat yang rawan... apa gue harus nekat?

"Hai," sapa Edenin sambil memamerkan senyum tulus yang manis.

Verinda mendongak menatap kakaknya sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke sekeliling.

"Lagi ngapain? Gue perhatiin dari tadi elo lagi mikirin something. Serius amat keliatannya." Edenin lalu duduk di sebelah Verinda. "Elo ada masalah?" Edenin lalu menoleh sambil memeluk kedua kakinya yang dilipat di depan dada.

Verinda menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kedatangan Edenin membuat dia jadi kehilangan konsentrasi. Ia diam-diam melirik kakaknya. Entah kenapa ia jadi canggung dan tidak bisa mengeluarkan aji pamungkasnya. Jurus jutek, cuek dan dingin yang biasanya otomatis keluar saat ia merasa tegang, gugup, malu atau terpojok seperti biasanya.

"Mikirin apa sih?" tanya Edenin dengan suara lembut.

Telinga Verinda jadi mendadak alergi mendengar jenis suara seperti itu. Suara itu hanya akan membuatnya jadi tidak tega untuk membentak. Verinda meneguk ludah sambil berusaha memalingkan wajah menghindari kontak mata dengan kakaknya.

"Ver," panggil Edenin lagi. Mau tidak mau Verinda menoleh. "G-gue... ehm, jadi sebenernya aku," Edenin tidak meneruskan ucapannya. "maksudnya gue," bicara Edenin mendadak jadi makin belepotan.

"Gue ke kamar dulu." Potong Verinda cepat.

Edenin langsung menahan tangan Verinda.

"Ada apa lagi?" tanya Verinda sambil menatap sejenak tangannya yang ditahan.

"Gue juga mau ke kamar. Bareng ya." Katanya sambil bangkit.

Verinda tidak mengangguk tapi membiarkan kakaknya mengikutinya. Malam itu juga ia putuskan untuk mendatangi tempat terakhir berdasarkan laporan hasil penyelidikan Raditya.

Edenin berjalan masuk ke ruang makan dengan malas. Dalam ruangan itu sudah menunggu papa dan mama. Papa terlihat asyik membaca koran yang belum sempat dibacanya tadi pagi.
Papa langsung tersenyum begitu melihat Edenin.

"Malam, sayang." Sapa papa sambil melipat korannya yang dibalas senyum oleh Edenin. "Oya, tadi pas papa pulang kantor papa ngeliat ada motor DUCATI warna merah-itu, punya siapa, ya?" tanya papa sambil mengambil sendok dan garpu.

"Oh, itu punya Radit. Temen sekelas aku." Papa langsung tersenyum penuh arti. "Jangan aneh-aneh deh, pa!" seru Edenin dengan wajah agak memerah. "Itu motor tadi dipinjem ama si Ver."

Papa langsung melongo. Mama yang sejak tadi sudah sibuk dengan makanannya ikut menghentikan kegiatan mengunyahnya.

"Apa kata kamu, Chel?" tanya mama tidak percaya.

"Iya, si Ver yang minjem tadi pagi trus pas mau dibalikin si Radit udah keburu pulang." Jawab Edenin yang tak lama kemudian baru sadar dengan apa akibat yang bisa ditimbulkan akibat laporan lugasnya.

"Maksud kamu-pinjem itu buat dipake sendiri sama si Ver?" papa kembali menimbrung sambil sekilas saling pandang dengan mama.

Edenin tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah kedua orang tuanya secara bergantian lalu mengangguk pasrah dengan penuh penyesalan.

"Sekarang mana anak itu?!" bentak mama marah.

Detuman musik energik memenuhi setiap sudut ruangan. Verinda mengejapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan dengan ruangan gelap yang sesekali diterangi kilau lampu warna-warni. Beberapa bola lampu raksasa berputar heboh menerangi ruang dengan kilauan yang menyakitkan mata.

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang