46. Curahan Hati Verinda

7.6K 507 17
                                    

Wow thanks for making this #73 😍😍😍 bantu terus dong biar masuk top #50 😉 syukur bisa nyampek ke top #10 yah gank 🤗😇
Yukk segera kita bikin baper si miss troublemaker yah 🤧 masa cuman Edenin aja yang dibaperin 😷😷😷
Please enjoy this short update 😋

____________________________________

Bel tanda jam istirahat selesai berbunyi nyaring. Verinda segera tersadar dari lamunannya. Ia mematikan iPod-nya lalu beranjak menuju kelasnya. Langkahnya mendadak terhenti ketika melihat Edenin duduk bersadar di pintu. Verinda meneguk ludah tidak tahu harus bagaimana. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk bersembunyi namun sebelum itu terjadi Edenin sudah menyadari kehadirannya.

Edenin menatap Verinda dengan tidak percaya.

"V-ver, "Ia segera bangkit dari duduknya.

Verinda menatap lurus ke pintu sambil berjalan mendekat. Edenin bisa merasakan sensasi dingin penuh benci dari tatapan Verinda walau tatapan itu tidak mengarah padanya. Ia mendadak speechless tidak tahu harus bagaimana selain menyingkir dari depan pintu agar Verinda bisa lewat. Namun sebelum Verinda menutup kembali pintu mendadak Edenin mendapat keberaniannya untuk mencegahnya pergi.

"Tunggu," Verinda menoleh ke arah tangannya yang ditahan Edenin. "k-kita perlu ngomong, Ver." Lanjutnya dengan suara serak.

"Mau apa lagi?" tanya Verinda dingin tanpa menatapnya. Ia lalu menepis tangan Edenin sambil mempertahankan posisinya yang membelakangi Edenin.

Kedua tangan Edenin terkepal marah. Tanpa bisa diduga Verinda, Edenin menariknya masuk lalu mendorongnya ke pintu hingga pintunya kembali tertutup.

"BISA NGGAK SIH ELO LIAT GUE WAKTU ELO NGOMONG KE GUE?!" Verinda hanya menyeringai sinis sambil menatap lurus entah kemana. "VER!! LIAT GUE!" ia lalu mencengkram krah Verinda.

Verinda tidak bereaksi. Ia masih menolak menatap wajah kakak tirinya itu. Edenin mempererat cengkramannya.

"GUE NGGAK TAU APA-APA, VER!! KENAPA LO IKUTAN BENCI GUE!! GUE JUGA KORBAN DALAM MASALAH INI!!" Edenin tertunduk meneteskan air mata. "Apa nggak pernah terlintas dalam benak lo kalo gue juga nggak mau jadi kayak gini? Apa nggak pernah lo pikir kalo bukan gue yang mau mama pilih kasih? Nggak, Ver, NGGAK! NGGAK PERNAH!"

"Tapi lo nikmatin semuanya, kan?" katanya dingin.

"Iya, gue emang nikmatin semua itu! Tapi, itu sebelum gue sadar semuanya. Sebelum gue sadar ada yang nggak beres dari sikap mama,"

"Kapan?" potong Verinda lalu menatap Edenin. "Kapan elo sadarnya?"

"Waktu gue," Edenin mendadak diam.

Verinda langsung menyambutnya dengan sinis. Ia memegang pergelangan tangan Edenin lalu menyingkirkannya dari krahnya.

"Waktu elo mau jatuh dari atep ini, kan? Sekarang jawab gue-jujur. Apa kalo waktu itu bukan gue yang nolongin elo, apa lo bakal berbaik hati deketin gue? Deketin orang yang selama ini elo jauhin karena dia anak nakal, nggak tau aturan. Deketin orang yang cuek, dingin dan nyolot kayak gue. Jawab gue." Edenin tidak bisa menjawabnya. Verinda lalu berkata sambil berjalan menjauh, "Asal elo tau aja. Waktu itu mati-matian gue ngusir perasaan gue buat biarin elo jatuh. Apa elo tau kalo waktu itu gue puas banget liat elo ketakutan,"

"Tapi elo nggak ngelepas tangan gue. Kenapa?" tanya Edenin sambil menoleh. Kali ini Verinda yang tidak bisa menjawab. "Karena elo nggak kayak yang mama atau orang omongin. Mereka ngomong gitu karena nggak kenal elo,"

"Oh, jadi elo tau gue?" potongnya. Sinis.

"Gue mulai kenal elo, Ver. Mbok Tun kenal elo. Dia cerita banyak soal elo. Dia sering bilang, lo yang sebenernya nggak kayak penampilan luar lo selama ini. Gue tadinya nggak percaya, tapi lama-lama gue tau mbok Tun bener. Ada sosok lain dibalik tampang sok, belagu dan dingin elo."

Verinda terdiam mendengar perkataan Edenin.

"Sosok lain itu yang nolongin gue waktu gue mau jatuh dari atep. Nolongin gue waktu bus yang kita naikin kecelakaan." Edenin menatap lurus Verinda. Ia lalu mendekat. "Ver, gue tau elo nggak lebih kuat dari gue buat ngadepin semua ini."

"Terus mau lo apa?!" Verinda lalu mencengkram bahu Edenin. "Lo mau gue lupain semuanya?! Terus balik lagi ke rumah yang selama ini udah kayak neraka buat gue. Tempat di mana gue diperlakukan kayak anak tiri sama nyokap kandung gue sendiri, iya?!" ia menggeleng pelan sambil menurunkan tangannya.

"Ver,"

"Apa lagi yang lo mau dari gue?! Lo udah ambil semuanya! Oke, gue nggak akan nyalahin elo! Gue tau elo juga korban-dan, maafin kalo gue sempet nyalahin dan benci elo. Puas lo sekarang? Udah nggak ada beban lagi di hati lo, kan?! Gue ijinin elo buat benci gue sekarang karena gue cuman saudara tiri lo!"

Edenin membuka mulutnya namun Verinda keburu buka suara lagi.

"Gue nggak sanggup kalo harus balik lagi ke rumah itu. Gue nggak sanggup." Perlahan setetes air matanya mengucur ke wajahnya yang dingin. "Lo nggak tau rasanya diperlakukan nggak adil sama orang yang seharusnya belain elo," ia mengusap wajahnya. "elo nggak tau-rasanya dibaikin sama orang yang seharusnya benci sama elo. Bokap lo, elo." air matanya kembali menetes tapi ekspresi wajahnya tetap dingin. "orang-orang yang sewajarnya benci gue."

Edenin menangis mendengar perkataan Verinda.

"Mungkin nggak bakal sesakit ini kalo bokap lo dan elo yang nggak mau terima gue-tapi, kenyataannya... selama ini bokap lo baik ke gue. Bokap lo mau besarin anak yang sepantesnya dia benci. Bokap lo mau anggap gue kayak anaknya sendiri. Lo nggak tau rasanya waktu gue tau kenyataan itu." Verinda menggeleng pelan lalu mengusap-usap wajahnya yang basah.

"Ver, gue,"

"Jauhin gue. Lo pantes benci gue." Potong Verinda lalu pergi.

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang