"Aow! Sakit!" Edenin meringis kesakitan. "Pelan-pelan dong!" omelnya lagi.
Verinda mendengus pelan sambil kembali menempelkan kompresan es ke dahi Edenin yang membiru. Edenin kembali berteriak kesakitan.
"Iiih, pelan dong!" gerutunya sambil menepuk keras tangan Verinda.
"Mau sembuh nggak?!"
"Mau," jawab Edenin dengan nada takut-takut.
"Ya udah diem!" bentak Verinda tidak sabaran.
"Tapi sakit," rengeknya lagi.
"Jangan manja lo!"
Edenin langsung merengut dengan mulut manyun menatap Verinda. Seperti biasa ia memasang wajah kaum dhuafa. Verinda balas menatap Edenin dengan galak walau ia menahan senyum dalam hati. Verinda lalu tertunduk karena sudah tidak kuat menahan tawa sejak saat melihat Edenin yang jatuh gara-gara Azzam tadi siang.
"Eh, elo kenapa? Elo ngetawain gue?!" omel Edenin sambil melihat gelagat Verinda yang sejak tadi mencurigakan.
Tawa Verinda langsung pecah mendengar omelan Edenin.
"Bego banget sih lo! Asli bego banget," kata Verinda yang masih diselingi tawanya sambil memukul-mukul lengan sofanya. "makanya jangan sok jagoan!" lanjutnya.
Edenin ingin marah karena dirinya ditertawakan. Apalagi mengingat kejadian tadi, ternyata selain mereka berempat, ada beberapa junior cheerleader Edenin dan anak Paskibra yang menjadi saksi mata kejatuhannya. Uuuurgh, Azzam jelek!! Gara-gara dia gue jadi gini!! Mau taruh mana muke gue sebagai kapten Cheer?! Mana gue diketawain lagi ama anak bau kecur!! Edenin kemudian termenung.
Verinda masih belum berhenti tertawa. Ia tertawa hingga perutnya sakit. Setelah beberapa lama, ia mulai menguasai dirinya. Ia juga baru menyadari bahwa Edenin sejak tadi melihatnya tanpa kedip. Verinda langsung kembali ke habitatnya sebagai manusia berdarah dingin. Ia langsung berdehem jaim untuk mengembalikan aura jutek, cuek dan dinginnya.
"Kenapa lo? Nggak pernah liat orang ketawa?"
"Pernah," jawabnya sambil menegakkan duduknya. "tapi nggak pernah liat elo yang ketawa. Ternyata elo bisa ketawa juga ya... bagus deh. Coba kalo elo sering ketawa kayak gini. Muka elo lucu kalo ketawa."
Verinda hanya bisa diam. Ia tidak tahu harus menanggapi apa ucapan kakaknya. Keduanya lalu diam sambil saling pandang selama beberapa saat. Akhirnya Verinda duluan yang memilih untuk mengalihkan matanya dari mata Edenin.
"Elo obatin sendiri aja deh." Kata Verinda kemudian sambil beranjak pergi.
"Eh, tunggu!" cegah Edenin sambil menahan tangan Verinda. "Kalo nolongin orang yang tuntas dong!" protesnya.
Verinda mendengus sambil kembali duduk di depan Edenin. Ia lalu menyiapkan obat dan perban untuk menuntup dahi Edenin yang lebam. Dengan hati-hati ia menempelkan perban, sementara Edenin pasrah sambil sesekali meringis kesakitan. Aow!! Duuh... untung papa ama mama lagi keluar kota! Jadi nggak heboh deh liat jidat gue bengkak kayak gini. Salah-salah ntar mama nyalahin si Ver lagi....
"Mikirin apa lo?"
"Hah? Oh, nggak! Gue nggak mikirin apa-apa kok!"
"Perban lo udah beres. Gue ke kamar dulu." Verinda beranjak dari duduknya sambil merapikan kotak obatnya.
"Ver!!" panggil Edenin sambil mengejar Verinda yang baru berjalan beberapa langkah. Ia lalu melompat kecil mendaratkan sebuah ciuman di pipi adiknya. Edenin lalu tersenyum lucu menatap Verinda yang terpaku. "Thanks ya, adikku sayang!" katanya sambil menunjuk perban di dahinya. "Ternyata punya adek kayak elo itu ada gunanya juga." Tambahnya sambil menepuk kepala Verinda dengan gaya sok tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...