Suasana langsung hening seketika. Tidak ada yang buka suara.
"Chel, dia kenapa?" tanya Raditya memecah kesunyian.
"Dia," katanya setelah lama terdiam. Ia menatap lekat Raditya. "kena kanker lambung, Dit." Suaranya terdengar bergetar dan pelan.
Raditya terpekur mendengar jawaban Edenin yang mengejutkan. Nggak mungkin! Anak sekuat dia-nggak mungkin!! Ia menggeleng tidak percaya.
Trio DC juga tidak kalah terkejut. Mereka bertiga saling berpandangan tanpa berani buka suara.
Suasana kembali hening. Semua orang larut dalam suasana tegang. Keheningan kemudian terpecah ketika pintu ruang penanganan dibuka. Verinda didorong keluar menuju sebuah ruang rawat inap intensif.
Verinda dibawa dalam kondisi masih tidak sadarkan diri. Pakaiannya telah diganti dengan pakaian rumah sakit. Wajahnya masih tampak pucat dengan selang oksigen melilit di hidungnya.
Edenin langsung menghambur berusaha mendekati Verinda. Namun para suster melarangnya untuk mendekati Verinda. Ia hanya bisa pasrah sambil terus mengikuti rombongan para suster dari belakang. Ia lalu mengawasi adiknya dari balik kaca jendela kamar ICU adiknya.
Ver, maafin gue! Gue emang bego banget!! Nggak seharusnya gue kayak gini... seharusnya gue bisa bujuk elo tanpa harus nunggu elo ngaku. Gue emang bego!! Tolol! Bisa-bisanya gue diem sementara tiap detik harapan hidup elo yang jadi taruhannya!! Gue biarin elo menderita sendirian... gue emang bukan kakak yang baek buat elo. Maafin gue, Ver....
Beberapa orang suster terlihat sangat hati-hati memasang beberapa alat yang akan terus memonitor kondisi Verinda. Tak seberapa lama semua peralatan telah terpasang dengan baik. Satu per satu suster tersebut keluar.
Edenin masih terpaku di depan jendela. Posisi Verinda tepat berhadapan dengannya. Perlahan tangan kanannya menyentuh kaca jendela lalu bergerak seolah tangannya bisa tembus kaca dan menyentuh adiknya.
"Ver, maafin gue..." gumamnya pelan.
Trio DC kembali menghampiri Edenin. Raditya masih mengekor dari belakang. Trio DC memutuskan untuk kembali berpamitan kembali ke sekolah. Edenin mengangguk pelan lalu menoleh ke teman-temannya.
"Makasih yah." Kata Edenin lalu matanya kembali menatap Verinda.
Sementara itu, Raditya merogoh saku celananya lalu menyerahkan kunci mobil Nadia ke pemiliknya.
"Lo bawa aja mobil elo, Nad. Gue stay di sini."
Nadia mengangguk sambil mengajak Nia dan Raya pergi. Trio DC sempat melihat kembali ke arah Edenin yang masih terpaku menatap adiknya yang ada di ruang ICU. Ketiganya saling berpandangan sambil melangkah dengan langkah berat meninggalkan rumah sakit.
Edenin menebarkan pandangannya ke segala arah. Menatap bingung hamparan hijau pemandangan yang tidak asing baginya. Entah apa yang terjadi sebelumnya. Ia merasakan kesedihan yang luar biasa. Ia bisa merasakan wajahnya yang basah karena air mata. G-gue ada dimana? K-kenapa?! Pandangan matanya lalu terhenti pada dua sosok. Kedua bola matanya membesar menyadari apa yang ada dihadapannya.
"K-kakek?!" teriak Edenin tidak percaya.
Kakeknya yang berpakaian serba putih, sama persis ketika dulu Edenin pernah memimpikannya. Kakek tersenyum memandang seseorang yang berjalan di sampingnya. Verinda yang juga mengenakan pakaian serba putih.
Edenin mencengkeram kepalanya yang berdenyut. Verinda?! Kakek?! Ng-nggak! Nggak boleh!! Edenin menggeleng lalu berteriak memanggil kakek dan adiknya.
"KAKEK!! VER!! JANGAN PERGII!!" teriaknya lalu berlari menghambur mengejar dua sosok itu.Kakek dan Verinda terus berjalan tenang seolah tidak mendengar teriakan Edenin sampai pada akhirnya, Edenin berhasil mengejar mereka. Ia menarik lengan Verinda menjauh dari kakeknya.
"Nggak boleh!! Kalian nggak boleh pergi berdua!!" teriak Edenin sambil mencengkeram erat memeluk lengan Verinda.
"Kenapa?" tanya Verinda terlihat bingung dengan sikap kakaknya. Namun ia tidak marah. "Aku kan mau pergi jalan-jalan sama kakek." Kata Verinda lalu tersenyum menatap Edenin tampak berantakan.
Kakek diam saja memandang dua cucunya itu.
"Jangan! Nggak boleh!" teriak Edenin makin mempererat cengkramannya. "Pokoknya nggak boleh!" lanjutnya sambil memandang kakeknya.
Kakek masih tidak berkata-kata. Ia hanya tersenyum lembut menatap Edenin. Perlahan tangan kakek terulur untuk mengajak Verinda pergi. Verinda mengangguk lagi berusaha dengan lembut melepaskan diri dengan Edenin.
"Jangaaan!" teriak Edenin lalu tersadar dari tidurnya.
"Chel?" Raditya yang sedari tadi duduk di sampingnya dan meminjamkan bahunya berusaha menenangkan Edenin yang terlihat kacau. "Elo kenapa? Mimpi buruk?"
"Hah?! Mimpi? Ya Allah, syukur cuman mimpi." Edenin menyeka keringat yang mengucur deras di dahinya. Ya Allah, kenapa mimpi ini-dulu, aku kan juga... kenapa mimpi aku kayak berlanjut? Ya Allah, semoga ini cuman sekedar mimpi! Verinda pasti selamat! HARUS!!! Edenin lalu teringat kondisi adiknya. "V-verinda?! Gimana dia?!" Edenin langsung melompat bangun dari kursinya.
"Tenang, Chel." Raditya ikut bangun dari kursinya lalu berusaha menenangkan Edenin yang masih terbawa mimpi. "Duduk dulu. Verinda masih ditanganin sama dokter. Elo tenang ya." Lanjutnya sambil menyuruh Edenin untuk duduk.
Tak seberapa lama terdengar derap langkah kaki yang berlari. Papa dan mama lalu muncul dari belokan di ujung koridor kamar ICU. Wajah mereka tampak sedikit lega ketika menemukan Edenin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...