43. Hampa

6.2K 409 17
                                    

Short update ya, gank 😅 mimin author lagi teramat lelah kena gempur balada senin di kantor 😱😱😱 maafkan juga kalo beberapa komen nggak sempet dibales 🤒anyway yokk cooling down dulu kayak si Verinda 😷😷😷
____________________________________

Beberapa hari telah berlalu sejak kepergian Verinda dari rumah sakit. Suasana di rumah Edenin terasa sangat kelam dan muram. Selama beberapa hari Edenin bungkam. Ia masih sangat shock mengetahui rahasia kelam keluarganya. Ia belum bisa mengambil sikap apakah ia bisa memaafkan terlebih atas alasan itulah mamanya bersikap sangat tidak adil pada Verinda. Ia tidak dapat menyangkal ia semakin merasa sangat bersalah pada Verinda yang ternyata adalah adik tirinya.

Verinda tidak pernah kembali ke rumah. Ia juga tidak muncul di sekolah. Edenin berusaha meyakinkan dirinya bahwa Verinda pasti tinggal di rumah papa kandung yang entah ia tidak tahu dimana. Seisi rumahnya juga seolah kompak diam setelah malam di mana pengakuan mama meluncur pada Edenin dan juga papa yang berujung pada kemarahan luar biasa Edenin pada mama dan papanya.

Papa adalah orang yang paling tidak tahan menghadapi suasana perang dingin ini. Oleh karena itu, pada suatu makan malam yang sepi dari obrolan hangat, ia membuka suara pada Edenin.

"Ini," kata papa sambil menyodorkan secarik kertas kecil pada Edenin. Edenin menyambut dingin kertas itu. "alamat Verinda mungkin tinggal sekarang."

Edenin menatap papanya tidak percaya. Ia segera mengambil kertas itu.

"Semuanya karena kesalahan di masa lalu, Chel. Tapi semua itu nggak boleh merusak masa sekarang. Masa lalu memang nggak bisa diperbaiki-tapi, masa sekarang dan masa depan," papa menghela nafas sejenak. "seharusnya masih bisa diperbaiki."

Edenin menatap lama papanya. Perkataan papa seperti angin segar baginya yang membawanya pada suatu harapan baru. Perlahan ia tidak bisa menolak untuk tidak tersenyum sedikit pada papa.

Harapan itu tidak hanya dirasakan Edenin. Mama diam-diam menyimpan harapan dari mencairnya kekakuan yang menyelimuti keluarganya. Setidaknya walau Edenin masih menolaknya tapi Edenin sudah mau tersenyum pada papanya. Yah, udah sepantasnya Chelia nggak marah sama papanya... karena semuanya memang salahku. Kesalahan aku! Ya Allah-mereka hanya korban dari kesalahanku. Dosaku. Tapi, dari mana Ver tau soal jati dirinya? Soal laki-laki itu juga?

********************************

"Mo sampe kapan lo ngendon di kamar?" Jeany membuka tirai jendela kamar Verinda dengan remote control-nya. Seorang pelayan berseragam di belakangnya segera masuk membawa nampan untuk sarapannya. "Lo bolos lagi nggak hari ini?" ia lalu menatap Verinda.

Verinda memejamkan matanya yang masih terasa berat. "Jam berapa sekarang?" tanya sambil menegakkan duduknya menghadap nampan sarapannya.

"Jam lima lewat dikit."

"Gue bolos aja." Katanya sambil mengambil sandwich. Ia lalu memberi isyarat pelayannya agar keluar dari kamarnya.

"Gue masih heran kenapa mendadak lo berubah pikiran mau tinggal di rumah bokap lo ini. Padahal dulu kayaknya lo mantep banget,"

"Nggak suka gue disini?" potongnya dengan mulut penuh sandwich.

"Nggak gitunya juga, Ver. Gue cuman heran!" Jeany berjalan mendekat lalu duduk di tepi ranjang Verinda. "Lo ada masalah di rumah lo? Sama nyokap lo mungkin." tanyanya dengan nada berhati-hati.

Verinda mendadak kehilangan selera. Ia menjatuhkan sisa sandwichnya di piring. Ia terdiam sejenak lalu meminum jusnya.

"Jangan pernah sebut-sebut orang itu lagi kalo nggak mau gue usir elo." Katanya datar.

Jeany meneguk ludah sambil menggeleng.

"Iya, ampun! Busyet dah elo sensi banget! Oke, elo bos gue sekarang. Gue nurut apa kata elo aja. Lo kata gue suruh nyilem juga bakal gue jabanin!" cerocos Jeany.

Verinda mengangguk pelan sambil menahan senyum mendengar perkataan Jeany. Ia kembali meneguk jusnya lalu melanjutkan makannya. Jeany kemudian membawa nampan keluar setelah Verinda selesai sarapan.

"Yakin lo mau bolos lagi? Udah dua minggu, Ver!" kata Jeany di ambang pintu. Verinda memamerkan mata pamungkasnya. "Oke, gue sumpel mulut gue!" Terdengar suara pintu ditutup dari luar oleh Jeany.

Sekarang Verinda kembali sendiri. Pikirannya melayang memutar kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Sekarang, mau apa lagi? Ia perlahan menggeleng pelan. Kedua tangannya lalu bergerak menutupi wajahnya. Nggak pernah kepikir-nggak pernah sebelumnya, kek... kenapa semua jadi kayak gini?

Selama berhari-hari Verinda mengurung diri di kamar semenjak dia pindah ke rumah papanya. Ia menghabiskan hampir semua waktunya di kamar. Berusaha mengistirahatkan pikiran dan badannya.

"Dua minggu?" gumamnya sambil menebar pandangan ke seluruh sisi kamarnya yang luas dan megah. "Tapi, mau ngapain lagi?" Ia membuang nafas pendek lalu beranjak dari tempat tidurnya.

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang