Tampang anak-anak SMA 3 Global Jaya kembali sumringah. Sudah seminggu ini tampang mereka lecek gara-gara digempur sama yang namanya ujian semester. Hari itu adalah hari terakhir mereka ujian dan seminggu ke depan hanya akan ada class meeting dan penerimaan rapor.
"Ma, jangan lupa tar hari sabtu ambil raporku." Kata Edenin mengingatkan.
"Oke, sayang. Mama nggak akan lupa kok." Jawab mama sambil mengambilkan nasi dan lauk untuk papa.
"Kira-kira bagus nggak rapornya?" tanya papa menimbrung.
"Bagus dong!" jawab Edenin yakin.
Papa lalu tersenyum mendengar jawaban Edenin.
"Emang bisa masuk 10 besar?" tanya papa lagi.
"Ehm," Edenin merenung sejenak. "bisa kalo ada yang mau kasih hadiah!"
"Nah, kumat tukang palaknya!" omel mama pura-pura marah lalu tertawa.
"Emang mau hadiah apa?"
"Naikin jatah uang saku bulanan dong, pa!" pinta Edenin dengan alis naik turun yang langsung membuat papanya tertawa.
"Oke. Asal masuk 5 besar, ya?"
"Yah, susah persaingannya, pa!" protes Edenin langsung merengut.
Papa dan mama langsung tertawa melihat Edenin yang langsung bad mood. Mereka bertiga terlihat asyik mengobrol sampai tidak menyadari kehadiran Verinda. Mereka bertiga langsung kompak diam begitu mendengar suara kursi yang digeser. Verinda langsung memulai aktivitas makannya tanpa peduli dengan sekitarnya meski ia tahu semua mata melihatnya.
Edenin menarik nafas panjang sambil melirik Verinda yang duduk di sampingnya. Ini adalah pertama kalinya Verinda bergabung dalam acara makan keluarga sejak ia membanting mie instannya dulu.
"Selamat malam, Ver." Sapa papa berusaha memecah kekakuan suasana.
Verinda melirik ke papa sambil mengangguk dan tersenyum tipis. Ia lalu kembali menatap makanannya. Tingkah Verinda membuat papa garuk-garuk kepala kehabisan akal.
"Nah, gitu dong, Ver! Lo kan udah lama nggak ikutan makan bareng." Edenin menimpali berusaha ikut mencairkan suasana.
Verinda memperlambat kunyahan makanannya. Ia menoleh ke Edenin sambil mengangguk lalu kembali sibuk dengan makanannya. Usaha papa dan Edenin gagal total. Sementara mama memilih diam saja sambil menatap Verinda dengan tidak senang. Mama dan Verinda masih terlibat perang maha dingin.Verinda duduk jongkok mengemasi pakaiannya ke ranselnya. Ia bersiap pergi ke rumah nenek untuk menghabiskan seminggu liburan sekolahnya.
"Elo beneran jadi pergi ke nenek, Ver?" tanya Edenin dengan kepala terjulur dari balik pintu kamar Verinda.
Verinda menoleh sambil mengangguk. Ia masih sibuk menata.
"Apa asyiknya sih ke rumah nenek?" tanyanya heran sambil masuk ke kamar Verinda lalu duduk di tepi ranjang. "Nenek kan galaknya amit-amit!" lanjutnya.
Verinda tersenyum tipis. Kini semua pakaiannya sudah masuk ke dalam ranselnya. Ia langsung memanggul tasnya sambil berdiri dan menatap Edenin.
"Lo nggak akan ngerti." Sahut Verinda kemudian.
Edenin hanya bisa melongo tidak mengerti. Verinda menatap sejenak kakaknya yang sedang memasang tampang bego.
"Gue berangkat." Pamitnya tanpa menunggu sahutan dari kakaknya.
Edenin masih duduk melongo di tepi ranjang Verinda. Ia masih tidak habis pikir apa yang membuat adiknya betah serumah dengan nenek yang super diktator itu. Satu jam pun Edenin tidak akan sanggup menghadapi neneknya.
"Dasar anak aneh!" gumamnya kemudian.
Edenin membuang nafas pendek sambil menggeleng. Ia lalu menebarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar Verinda. Gila. Dulu boro-boro gue masuk kamarnya.... Kepikiran aja enggak. Kenapa dulu hubungan gue sama tu anak bisa separah itu ya? Edenin beranjak dari duduknya lalu menghampiri meja belajar Verinda yang tampak tertata rapi.
Edenin mulai sibuk meneliti setiap barang yang ada di meja adiknya. Rasa penasaran membuat Edenin tidak dapat menahan tangannya untuk membuka laci meja belajar adiknya. Edenin mengerutkan alis menatap isi laci meja belajar Verinda. Lho? Ini kan hasil CT-Scan yang waktu itu. Oya, waktu itu kalo nggak salah si Verinda di suruh ngulang tesnya lagi, kan? Edenin langsung mengeluarkan amplop coklat berukuran A3 hasil CT-Scan Verinda yang terlipat di laci.
Edenin menatap amplop coklat itu sejenak. Tanpa pikir panjang ia membuka isi amplop itu. Edenin mengerutkan alisnya begitu melihat hasil foto CT-Scan.
"Apaan nih?" gumamnya tidak mengerti ketika melihat ada beberapa lingkaran spidol merah pada beberapa bagian organ perut Verinda.
Edenin terus membuka lembar demi lembar hasil foto CT-Scan Verinda meski ia tidak mengerti. Namun bola matanya membesar ketika membaca lembar laporan tertulis laboraterium mengenai kesimpulan pemeriksaan. Ada tulisan yang digarisbawahi dengan spidol.
- Terdapat adanya ascites
Kesimpulan : Positif carcinoma / ca gaster
Apa maksudnya? Edenin semakin tidak mengerti. Ia sama sekali buta dengan istilah-istilah kedokteran meski ia mengambil jurusan IPA di sekolahnya. Edenin lalu memutuskan untuk menghubungi dokter yang juga pernah menanganinya dulu untuk menjawab rasa penasarannya.
"Halo, dokter Suherman?" sapa Edenin sopan dari balik telepon.
"Iya. Maaf ini siapa?"
"Saya Edenin, dok."
Dokter Suherman berusaha mengingat-ingat wajah orang yang meneleponnya. Ia lalu mengangguk meski tahu Edenin tidak mungkin melihatnya.
"Oh, kakaknya Verinda! Bener, kan?"
"Iya, dok."
"Ada apa?"
"Enggak saya cuman mau nanya, dok. Carcinoma atau ca gaster itu apa sih? Maaf abisnya saya penasaran banget abis baca hasil CT-Scan Verinda, dok."
Senyum dokter Suherman langsung menghilang. Ia terdiam sejenak.
"Halo? Dokter?"
Dokter Suherman langsung tersadar dari lamunannya.
"I-iya, maaf. Ehm, apa adik kamu tau kalo kamu baca hasil tesnya?"
"E-enggak sih, dok. Saya nggak sengaja liat di laci mejanya."
Edenin dapat mendengar jelas dokter paruh baya itu menghela nafas panjang. Entah kenapa Edenin langsung mendapat firasat tidak mengenakkan.
"Apa kamu bisa temui saya nanti siang jam 12 di rumah sakit?"
"B-bisa sih, dok. Emang ada apa sih, dok?"
"Nanti saja saya jelaskan. Ya udah sampai ketemu nanti."
Edenin menutup teleponnya dengan perasaan tidak menentu. Kenapa sih dokter itu? Aneh.... Aduh, kenapa gue jadi deg-degan gini?!Di kafetaria rumah sakit
"Maaf, tadi ada pasien darurat. Udah lama nunggu?" tanya dokter Suherman sambil duduk di depan Edenin.
Edenin hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Saya juga baru dateng kok, dok."
Dokter Suherman tersenyum sejenak lalu memanggil seorang pelayan untuk memesan secangkir kopi.
"Dok, sebenernya ada apa sih?" tanya Edenin kemudian.
Wajah dokter itu yang semula santai berubah menjadi serius. Ia menangkupkan kedua tangannya dan menyandarkan dagunya.
"Sebenarnya, saya melanggar kode etik sebagai dokter." Katanya mengawali. Ia lalu menarik nafas panjang. "Tapi sebagai manusia... saya rasa saya bertindak benar." Lanjutnya sambil membenarkan posisi duduknya.
Edenin beberapa kali menahan nafas menanti setiap perkataan yang keluar dari mulut dokter tersebut. Ia dapat merasakan ada hal yang sangat serius yang akan ingin disampaikan dokter itu.
"Verinda dulu mati-matian memaksa saya untuk merahasiakan hal ini. Yah, mungkin sudah takdir kamu yang harus menemukan hasil CT-Scan itu."
"Memangnya ada apa, dok?" Edenin mulai tidak sabar.
"Sebelum kamu tau. Saya ingin tanya sesuatu. Apa akhir-akhir ini ada yang aneh dari kesehatan adik kamu?"
Edenin mengerutkan alisnya berusaha untuk mengingat.
"Nggak ada, dok. Kecuali dia sering sakit perut karena maagnya kumat. Pernah saya nemuin dia pingsan di kamar. Mungkin saking parahnya."
Dokter Suherman langsung menggeleng tidak habis pikir.
"Sakit perut adik kamu yang kamu liat itu bukan sakit maag biasa." Edenin kembali menahan nafas menanti perkataan dokter itu. "Carcinoma atau ca gaster yang kamu tanyakan di telepon tadi itu,"
"Apa itu, dok?" Edenin terlihat tegang.
"Dalam istilah awamnya-kami, menyebut itu kanker lambung."
Edenin merasa tersambar petir di siang bolong. Detak jantungnya langsung berdebar tidak karuan. Ia tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
"K-kanker, dok?" ulangnya tidak percaya. Pandangan matanya mulai kabur karena air matanya mulai mendesak keluar. "K-kenapa bisa?"
Dokter Suherman lalu menjelaskan hal yang sama persis saat ia menjelaskannya pada Verinda. Edenin berkali-kali menghapus air matanya. Ia masih sulit percaya dengan apa yang didengarnya.
"Karena itu Edenin... tolong kamu bujuk adik kamu. Masih ada harapan. Masih ada sedikit keajaiban. Jangan nyerah kalau belum usaha. Adik kamu itu benar-benar keras kepala. Saya nggak sanggup membujuk dia, malah dia yang berhasil memaksa saya untuk merahasiakan ini semua. Dia anak yang pinter bicara. Mungkin kamu yang bisa... kamu kan kakaknya, kamu pasti tau sifatnya. Cari cara biar dia mau berobat."
Edenin menjatuhkan diri ke tempat tidurnya dengan perasaan campur aduk. Ia masih shock. Sesekali air matanya menetes.
"Ver, maafin gue," gumamnya pelan dengan rasa penuh penyesalan.
Pantesan waktu itu dia marah banget gara-gara mama nyuruh dia makan mie instan.... Ya, mie instan. Kenapa mie instan, ma? Sedikit banyak mungkin karena itu Verinda jadi kena kanker.... Edenin menggeleng pelan. Otaknya sibuk memutar ulang kejadian-kejadian yang dulu membuatnya kadang merasa heran dan bingung dengan tingkah Verinda.
"Ver, kenapa elo nggak mau cerita? Ini masalah yang serius banget... ini masalah hidup mati! Sekarang gue harus gimana?" gumam Edenin lagi.
Perkataan dokter Suherman kembali terngiang jelas di telinganya. Gue bisa apa, Ver? Harus apa biar bisa nolongin elo? Harus gimana biar elo mau bagi beban elo ke gue? Edenin menutupi wajahnya dengan bantal. Ia tahu sifat Verinda yang tidak mungkin bisa dipaksa. Edenin sadar jika Verinda tahu kalau dia tahu soal penyakitnya, keadaan tidak akan bertambah baik. Edenin takut Verinda akan berbuat nekat dengan pergi dari rumahnya. Ia sudah teramat hafal dengan tabiat adiknya yang sangat keras itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...