38. Drop

7.4K 480 20
                                    

Yokk dilanjut lagi nangis jama'ahnya bareng Edenin 🤧🤧🤧
Selamat bermalming kelabu, gank 😢🤧😌
____________________________________

Edenin berdiri terpaku di depan pintu ruang penanganan. Air matanya terus mengalir meski sudah tidak ada suara tangisan dari bibirnya.

Raditya perlahan mendekati Edenin dengan langkah ragu.

"Chel, sebenernya kenapa adek lo?" tanyanya hati-hati.

Edenin menoleh ke Raditya dengan kesal.

"Elo sengaja, kan?! Iya, kan?!" bentak Edenin lalu mendorong Raditya. "Tadi pagi lo mau nyerempet dia! Sekarang lo timpuk dia pake bola?! Salah dia apa sih, Dit?! Gue tau lo berdua sering ribut, tapi apa harus sedendam itu lo ke dia?! JAWAB!!"

Raditya membiarkan Edenin melampiaskan kemarahannya.
Edenin mencengkeram erat krah baju Raditya.

"Chel, lo belum jawab." Kata Raditya setelah lama Edenin terdiam. Ia lalu menggenggam kedua tangan Edenin.

Edenin melepas cengkeraman tangannya. Ia lalu tertunduk sambil menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Ia mulai sesenggukkan.

"Ya udah, nggak perlu lo jawab sekarang, Chel." Tangisan Edenin makin pecah. Perlahan Raditya menggerakkan kedua tangannya merangkul Edenin. "Maaf. Gue nggak bermaksud celakain dia kok, Chel. Lo harus percaya gue."

Edenin tidak berkata-kata lagi. Ia hanya bisa menyembunyikan wajahnya di bahu Raditya dan terus menangis.

Sayup-sayup terdengar derap langkah cepat menuju ke arah mereka. Rombongan trio DC akhirnya berhasil menyusul. Mereka berlari dengan tergopoh-gopoh.

Edenin dan Raditya langsung reflek saling melepaskan diri.

"Chel, gimana?!" berondong mereka nyaris kompak.

Edenin menggeleng lemas sambil berusaha menyeka sisa air matanya.

Trio DC langsung mengerubung berusaha untuk memberi dukungan moral. Mereka duduk berkerumun pada sebuah bangku panjang menghadap pintu ruang penanganan Verinda berada.

Edenin duduk dengan diapit Nadia dan Nia sedangkan Raya memilih duduk jongkok di hadapan Edenin. Sementara itu, Raditya masih setia berdiri di posisinya dengan pandangan mata tidak beranjak dari pintu ruang penanganan.

"Gue tadi udah ngabarin orang rumah elo, Chel." Kata Nadia.

"Thanks, Nad." Kata Edenin tulus.

"Chel," Raya menggenggam tangan Edenin. "adek elo kenapa sih? Dia sakit apa sampe bisa muntah darah segala?" tanya dengan sangat hati-hati.

Edenin baru membuka mulut ketika pintu ruang penangan dibuka. Ia langsung reflek berlari menghampiri.

"Dokter, gimana adik saya?!" tanya Edenin panik.

"Maaf. Bukan saya yang menangani." Dokter itu menggeleng.

"Tapi tadi kan dokter yang bawa masuk ke sini!" protes Edenin.

"Iya, tapi saya cuman dokter umum. Adik kamu ternyata punya riwayat penyakit kronis di medical record rumah sakit ini, makanya dia langsung ditangani ahlinya. Sekarang adik kamu masih dalam penanganan. Mohon sabar dulu, ya." Dokter itu lalu menepuk pelan bahu Edenin dengan simpatik. "Saya permisi dulu."

Edenin berdiri terpaku menahan ketidaksabarannya. Ia lalu berjalan mondar-mandir di sekitar ruang penanganan dengan gelisah.

Pintu ruang penangan kembali terbuka. Sosok yang sudah tidak asing bagi Edenin muncul dengan wajah muram.

"Dokter Suherman," Edenin langsung menghambur. "g-gimana, dok?! Gimana si Verinda, dok?! Dia baik-baik aja, kan?!"

Dokter itu menarik nafas berat sambil menggeleng pelan.

"Apa dia segitu sulitnya buat dinasehatin?" ia malah balik tanya. "Kenapa sampai sekarang dia belum juga mau mulai pengobatannya?"

Edenin terdiam. Bingung harus menanggapi apa.

Dokter Suherman menggeleng pelan. Kedua tangannya lalu menarik bahu Edenin untuk sedikit menjauh dari teman-temannya.

"Edenin, ini masalah serius." Katanya sedikit berbisik. "Setiap detik buat adikmu itu sangat-sangat genting. Tiap waktu yang terbuang itu berarti kesempatan hidupnya yang udah tipis makin tipis!" ia menambah penekanan dalam setiap katanya

"M-maksud dokter?" Edenin tergagap. Tidak percaya.

Dokter Suherman mengerutkan alis.

"Apa kamu masih belum paham juga?" tanyanya tidak percaya. "Waktu adik kamu tanya masalah ini ke saya-tapi," pandangannya mulai menerawang. "kalo liat kondisinya sekarang ini,"

"Apa, dok?!" Edenin mulai panik dengan sekujur tubuhnya gemetar.

"Saya bahkan sekarang nggak yakin dia bisa bertahan lebih lama dari enam bulan."

Edenin seperti tersengat listrik tegangan tinggi mendengar vonis dokter. Ia melangkah mundur dan menggeleng tidak percaya. Kedua lututnya terasa lemas.

"DOKTER BOHONG!" Edenin histeris.

Trio DC yang sejak tadi berdiri langsung mengerubunginya begitu juga Raditya.

"Kondisinya sekarang sangat drop." Katanya seolah tidak terpengaruh teriakan Edenin. "Hasil diagnosa sementara Verinda begini karena tenaganya diforsir dan kurang istirahat. Orang seperti dia seharusnya banyak istirahat. Emosinya juga harus stabil. Jangan buat dia terlalu marah, sedih bahkan terlalu senang juga jangan."

Edenin kembali mendekati dokter Suherman dengan air mata yang makin tidak terbendung. Kedua tangannya bergetar ketika memegang tangan dokter Suherman.

"Dok, tolong dia!!"

Dokter Suherman berusaha tersenyum sambil menepuk tangan Edenin.

"Bantu doa ya-dan, bantu jaga emosinya agar stabil, karena hanya keluarga yang bisa menjaga emosinya lebih baik dari dokter mana pun." Katanya serius. Ia lalu pamit kembali ke ruangannya.

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang