27. Usulan Papa (2)

7.5K 413 4
                                    

Verinda melempar kunci sepeda motor Raditya ke meja belajarnya. Ia pulang setelah lewat tengah malam dengan perasaan campur aduk. Ia lalu duduk di tepi ranjangnya dengan pandangan kosong. Ia merasa hampa dan sendiri dalam kamarnya yang gelap.

Satu sisi hatinya lega bisa bertemu papa kandungnya sebelum ajal menjemput. Satu sisi lainnya hancur dan kecewa mengetahui papa kandungnya ternyata tidak lebih baik dari mamanya. Keduanya sama-sama memiliki nilai minus di matanya.

Verinda tertunduk menutupi wajahnya dengan kedua tangan, mengigit bibir bawahnya menahan air mata yang terus mendesak keluar. Ia sulit mengendalikan emosinya. Otaknya buntu. Ia berusaha membuang jauh perasaan sentimentilnya dan mengumpulkan segenap emosi lalu menjadikannya tameng bernama kebencian.

Semalaman Verinda tidak tidur dan hanya duduk melamun. Pikirannya terus melayang menampilkan berbagai siluet kejadian di masa lalu yang pernah dialaminya. Kek, kenapa aku harus ngalamin semua ini? Kenapa aku? Apa belum cukup aku divonis hidup nggak bakal lama lagi? Apa belum cukup, kek?

Verinda mendengar suara pintu kamarnya dibuka. Ia dapat melihat dari sudut matanya bahwa Edenin yang membukanya.

"Ver? Elo udah dateng?" tanyanya lalu menutup pintu.

Verinda diam tidak bergeming. Pandangan kosongnya masih tertuju ke arah yang sama seperti semalam. Edenin lalu duduk di sampingnya.

"Ver," panggil Edenin sambil menatap wajah adiknya yang terlihat pucat. "elo pucet banget. Jam berapa elo pulang? Gue nungguin mpe ketiduran."

Verinda masih tidak bergerak seperti patung.

"Ver, elo dari mana aja sih?! Gue kuatir tau! Mana elo nggak ngasih kabar lagi-gue mau telepon elo tapi gue nggak tau nomer elo. Berapa sih nomer elo?"

Verinda mengejapkan matanya sambil meneguk ludah. Ia kemudian tersadar bahwa orang-orang yang baik kepadanya adalah justru orang lain. Orang yang tidak ada hubungan darah langsung dengannya. Ia merapati nasibnya yang ironis dengan sebuah senyuman sinis dan wajah yang sedingin es.

"Ver!" panggil Edenin untuk kesekian kali. "Berapa nomer elo?"

Verinda perlahan menggeser pandangannya ke kakaknya.

"Nggak ada." Sahutnya dengan suara datar.

"Jangan becanda deh. Gue serius. Gue beneran nggak tau nomer elo."

"Gue nggak punya."

Edenin langsung melongo kaget. Pada era serba canggih ini ternyata masih ada orang kota yang tidak punya ponsel. Lidah Edenin langsung kaku. Speechless total. Edenin kembali dilingkupi sejuta perasaan bersalah. Ia menatap ponselnya yang sudah kesekian kalinya berganti-ganti tipe terbaru sementara adiknya tidak sekalipun pernah memilikinya. Edenin semakin tidak bisa membendung pertanyaannya atas semua perbedaan yang terjadi antara dia dan Verinda.

"Oya, mending elo berangkat ke sekolahnya pagi-pagi aja. Mama semalem marah gara-gara tau elo minjem motor Radit. Gue sih yang salah, keceplosan." Kata Edenin kemudian. Ia berusaha mengusir segala bentuk dugaannya.

Verinda terpaku sejenak menatap kakaknya. Kenapa elo harus jadi kakak tiri gue? Bukannya semua yang disebut 'tiri' itu jahat, kejam dan galak? Kenapa papa dan kakak tiri gue itu justru orang yang baik ke gue? Kenapa justru-orang itu,. Verinda menahan nafas sejenak lalu membuangnya melalui mulut. NGGAK! Dia nggak tau apa-apa makanya dia baik. Tunggu sampe elo tau semua kenyataannya, Edenin!! Liat apa elo tetep pasang tampang manis lo buat gue. Verinda memalingkan mukanya.

"Ver, kenapa?"

"Gue nggak peduli." Katanya sambil beranjak ke kamar mandi.

"Ingat pesenku semalam, ma." Kata papa ketika melihat Edenin berjalan menuju meja makan. Papa tersenyum. "Pagi, Chel. Mana Verinda?"

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang