34. Kehidupan Baru?

7.3K 442 20
                                    

Jeany menekan remote control yang langsung membuka tirai di kamar tempat Verinda menginap secara otomatis.

"Pagi, Ver." Sapanya memicingkan mata karena silau cahaya matahari.

Verinda membuka matanya dengan cepat.

"Lho, lo nggak tidur semalem?" tanyanya sambil menatap lingkar mata Verinda yang menghitam. "Lo sakit ya? Muke lo pucet banget. Mau gue panggilin dokter?"

Verinda menggeleng pelan. Pagi itu dia merasa sekujur tubuhnya lemas dan tidak bertenaga. Kepalanya juga sedikit berkunang-kunang.

"Kalo gitu apa lo mau sarapan di kamar aja?"

Verinda kembali menggeleng. Ia menarik nafas dalam-dalam.

"Gue sarapan di bawah aja." Katanya sambil beranjak dari tidurnya.

"Mau kemana lo?"

"Mandi." Jawabnya sambil berjalan ke kamar mandi yang ada dalam kamar.

Jeany mengangkat bahu. Ia lalu memutuskan untuk keluar dan memeriksa apakah para pelayan telah selesai menyiapkan sarapan untuk majikan barunya.

Verinda tertegun menatap ruang makan yang ada di rumah papa kandungnya. Sebuah meja makan panjang yang cukup untuk menampung 20 orang. Tidak cukup sampai di situ, beberapa pelayan berseragam telah berdiri dan berderet rapi menyambut kedatangannya.

"Mereka siap buat menuhin permintaan lo," kata Jeany membuyarkan lamunan Verinda. Ia meringis melihat tampang Verinda. "masih banyak yang bakal bikin lo melongo kalo tau apa aja yang lo punya sekarang."

Verinda mendengus pelan mendengarnya. Ia menggeret kursi yang terletak paling ujung. Begitu ia duduk beberapa pelayan langsung menghampirinya. Ia berusaha stay cool meskipun ia merasa aneh dengan apa yang dihadapinya sekarang.

Verinda menatap malas hidangan lezat di hadapannya. Ia sedang tidak berselera makan. Namun ia berusaha memaksakan diri untuk makan sedikit. Baru memasukkan sesuap makanan, Jeany mengabarkan bahwa pengacara almarhum papanya ingin bertemu untuk membacakan surat wasiat.

"Suruh masuk sini." Kata Verinda pada Jeany.

Jeany langsung menyuruh seorang pelayan untuk mempersilahkan pengacara almarhum papanya masuk ke ruang makan.

"Selamat pagi, nona Verinda." Sapa seorang pria berkepala botak.

Verinda mengangguk pelan dan mempersilahkan pengacara tersebut untuk duduk dengan isyarat kepala. Pengacara itu mengangkat alisnya melihat sikap Verinda. Ia lalu melirik ke Jeany yang hanya mengangkat bahu dengan cuek.

"Kamu memang mirip sekali dengan papamu." Katanya sambil duduk di samping Verinda. "Baik, kita langsung aja. Sudah siap mendengarkan surat wasiat almarhum papa kamu?" tanyanya sambil mengeluarkan berkas dari tas kerjanya.

Verinda mengangguk dengan wajah tanpa minat.

"Ver, lo serius nggak mau pindah ke rumah bokap lo?" tanya Jeany memecah kesunyian yang tercipta sejak dari perjalanan rumah menuju sekolah.

Verinda tidak menjawab. Kepalanya dibiarkan terkulai menyandar pada jendela mobil. Kenapa? Hari ini badan gue lemes banget.... Verinda memejamkan mata sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Ver, elo sakit? Muka lo pucet."

"Nggak. Gue cuman capek. Lo jangan berisik lagi." Verinda membenarkan posisi duduknya dengan mata terpejam.

Akhirnya sisa perjalanan menuju sekolah Verinda dilalui dengan kebisuan. Jeany sesekali melirik ke Verinda sambil tidak ada habisnya mengagumi betapa sosoknya itu sangat mirip dengan almarhum papanya yang baru saja meninggal.

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang