24. Konfrontasi

7.2K 461 0
                                    

Verinda menyadarkan badannya di pintu. Ia berusaha menekan emosinya yang kembali meluap. Tenang, Ver. Tenang. Jangan keburu emosi. Tahan emosi elo.... Ia mengusap wajahnya dengan kesal. NGGAK!! Gue nggak bisa sabar!

"Brengsek!" makinya sambil melepas tas ranselnya lalu membuangnya begitu saja. Nafasnya langsung naik turun. Belum puas, ia menarik bed cover-nya dan melemparnya ke lantai. KENAPA?! Kenapa justru bukan orang itu yang baik ke gue?! KENAPA?! AAAAARGH... BRENGSEK!!

Verinda meninju keras spring bed-nya. Ia lalu berjalan mondar-mandir seperti orang bingung. Tangannya menepuk-nepuk dagu menandakan ia sedang berpikir keras. Gue nggak bisa terus kayak gini! Gue salah. Gue nggak akan sanggup nahan diri kalo ketemu orang itu!!

"AAAARGH," teriaknya marah sambil meninju lemari yang kali ini menjadi sasaran kemarahannya.

Tangannya tetap terkepal menempel di lemari. Nafasnya yang memburu perlahan menjadi teratur. Ia menunduk lalu menyandarkan kepalanya di lemari. Kek, kenapa jadi kayak gini? Kenapa aku harus alamin semua ini?

"Ini nggak adil," ia kembali meninju lemarinya.

Tak lama terdengar pintu kamar Verinda diketuk.

"Ver, ini gue. Elo nggak kenapa-napa, kan?" tanya Edenin dari balik pintu.

Verinda tersenyum sinis menatap pintu. Nggak kenapa-napa? Ia kembali teringat kata-kata kakek dan neneknya.

"... inilah alasan kenapa mamamu terkesan terlalu memanjakan Chelia daripada kamu. Kamu berhak marah dan nenek nggak akan menyalahkan. ...tapi, jangan kamu marah pada Chelia. Dia dulu juga korban."
"... Pokoknya, pesen kakek ke kamu cuman satu-kamu harus tetep sayang sama mereka. Mau, kan? Janji sama kakek, ya?"

"Sekarang gue ngerti kenapa dulu kakek minta gue janji." Kata Verinda pada dirinya sendiri. Kek, apa selama ini aku ini jadi orang jahat? Apa aku bukan orang baik? Verinda menghapus setetes air yang keluar dari matanya.

Pintu kamar Verinda sekali lagi diketuk Edenin. Verinda tidak menggubrisnya. Ia malah membuka lemarinya dan mengambil stofmap hitam dari laci lemarinya. Sekali lagi ia mengamati isi stofmap tersebut.

Edenin tertunduk sedih ketika untuk sekian kalinya ketukannya tidak digubris. Ver, elo emang berhak marah. Gue emang jahat banget. Cuman karena baju udah bisa bikin gue lupa penderitaan elo. Perlahan ia merasa kedua matanya mulai basah. Ia buru-buru menghapusnya lalu pergi ke kamarnya.

Baru beberapa langkah ia mendengar pintu kamar Verinda dibuka. Ia langsung menoleh. Ia melihat Verinda yang sudah berganti baju.

Verinda kaget melihat Edenin masih berdiri tidak jauh darinya. Langkahnya mendadak tertahan. Ia melihat kedua mata kakaknya memerah dan wajahnya yang basah. Namun ia tidak terlalu memikirkannya dan kembali melangkah.

Pandangan Edenin terus melekat pada Verinda yang bahkan sama sekali tidak menganggapnya ada. Pandangan adiknya lurus ke depan. Mata itu lagi... kenapa sih, Ver? Kenapa elo harus jadi dingin lagi... kenapa?!

Verinda sukses melangkah pasti melewati Edenin tanpa menoleh sedikitpun. Edenin menjadi tidak bisa menahan diri. Ia berbalik dan mengejar adiknya.

"Ver, tunggu!" cegahnya sambil menahan tangan Verinda.

Verinda langsung menepisnya cepat dan menatapnya seperti seekor kecoa yang patut dimusnahkan.

"Bisa nggak sih elo ngganggep gue ada?"

Verinda tersenyum menyungging dengan sinis.

"Kenapa nggak suka? Yah, inilah gue. Gue yang sebenernya!"

"Nggak! Ini bukan elo! Ini bukan elo yang sebenernya! Gue tau elo!"

"Sejak kapan elo jadi dukun?! Elo nggak tau apa-apa."

"Gue tau! Gue tau semuanya! Gue tau," Edenin mendadak kerongkongannya seperti tercekat. Ia nyaris kelepasan bicara soal penyakit Verinda. "Ver, please... elo berubah. Elo kenapa sih? Kalo elo ada masalah, elo bisa cerita ke gue." katanya kemudian berusaha meminta pengakuan Verinda.

Verinda diam saja sambil tetap memamerkan tatapan dinginnya.

"Ver," Edenin memegang tangan Verinda. "gue kakak elo. Gue siap dengerin masalah elo. Please," Verinda langsung menarik tangannya dengan kasar begitu mendengar perkataan Edenin.

"Jangan ganggu gue." sahut Verinda tanpa menatap kakaknya lalu pergi.

Edenin kembali dibuat kaget dengan sikap Verinda. Namun ia tidak menyerah. Ia kembali mengejar adiknya yang keras kepala itu. Edenin kembali menahan tangan Verinda dan sekali lagi ditepisnya. Kali ini Edenin tidak mau kalah. Ia kembali menarik tangan Verinda.

"Jangan ganggu gue!" bentak Verinda sambil mendorong Edenin.

Edenin pantang menyerah. Ia mendorong Verinda ke arah tembok.

Verinda menjadi terpojok. Ia berusaha mendorong balik Edenin namun ternyata pertahanan kakaknya cukup kuat menahannya.

"Ver, please... cerita ke gue sekarang." Kata Edenin sambil memegangi kedua bahu adiknya. Ia berusaha membuat Verinda mengaku tentang penyakitnya.
Verinda mendengus kesal sambil membuang muka.

"Jawab, Ver!" kata Edenin tidak sabar.

Ekspresi Verinda tetap datar dan tidak mau memandang kakaknya. Edenin jadi benar-benar habis kesabaran. Ia memegang dagu Verinda dan memaksa agar mau melihat ke arahnya.

"Ver, liat mata gue! Elo kenapa?! Ver, gue tau elo," Edenin nyaris kelepasan lagi. "Apa gue ada salah ama elo? Kalo emang iya, gue minta maaf." Edenin berusaha mengalihkan arah pembicaraan.

Verinda kembali membuang muka sambil tersenyum sinis. Nggak. Elo nggak salah. Elo nggak salah dan nggak akan pernah salah! Kesalahan bukan ada di elo tapi gue! Kehadiran gue adalah kesalahan! Gue-keberadaan gue itu salah. Sejak awal salah dan kesalahan ada di gue!! Verinda kembali menatap dingin kakaknya yang putus asa.

"Gue udah males banget sama lo." Kata Verinda datar.

Edenin melongo mendengar jawaban Verinda. Ia tidak menyangka jawaban itu yang akan keluar dari adiknya.

Verinda perlahan mendorong mundur kakaknya yang masih shock. Ia lalu memutuskan kembali ke kamar dan membatalkan niatnya untuk pergi keluar.

Author's note:
Yuhuuu... ini udah panas banget yah tensi si Edenin sama Verinda 😝😝😝
Keep voting yah 😇 comments are very welcome 😁 syukur kalo mau add to library 😎
Author nim signed out! 🖖

Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang