"Mbok?! Mbok Tun!" Edenin celingukan menyapu pandangan ke seluruh rumah. "Ke mana sih? Kok dipanggilin nggak ada respon!" ia lalu meletakkan tas sekolahnya ke sofa dan menuju dapur. "Kok nggak ada sih?! Si Lastri juga ke mana lagi?!" katanya kemudian setelah tidak menemukan siapa-siapa di dapur.
"Lho? Udah dateng, non?" tanya Lastri heran dari belakang Edenin.
"Dari mana aja lo, Las?"
"Dari lantai atas, non. Abis nyapu-nyapu." Ia lalu mengangkat sapu yang dibawanya sejak tadi. Edenin mengangguk sekenanya. "Non, mau minta dibikinin minuman atau makanan? Kok tumben pulang sekolah langsung ke dapur."
"Nggak. Oya, mbok Tun mana? Dari tadi gue panggilin nggak ada. Gue dateng nggak ada yang bukain pintu." Kata Edenin setengah mengomel.
"Oh, si mbok ada di halaman belakang, non. Saya heran ngeliatnya, non. Sejak pulang dari pasar tadi si mbok jadi aneh. Mukanya tuh sedih banget."
Edenin terdiam mendengar penjelasan Lastri. Mbok Tun kenapa ya?
"Non? Non Chelia? Jadi, non mau dibikinin apa?"
"Hah? Oh, nggak usah deh, Las! Gue mau nyari si mbok aja." Katanya lalu menuju ke halaman belakang rumah. Ia lalu menemukan mbok Tun sibuk membersihkan pendopo yang dulu biasa dipakai Verinda istirahat setelah merawat tanamannya.
"Non Cheli?" kata mbok Tun tampak terkejut menyadari Edenin berdiri di depan pendopo dan menatapnya dengan sedih. "Sejak kapan non ada di sini? Mbok lagi bersih-bersih pendopo ini. Kotor banget, non."
"Mbok lagi kangen sama Verinda," Edenin menarik nafas panjang sambil menggeleng pelan. Ia lalu duduk di tempat Verinda dulu biasa duduk. "iya, kan?"
Mbok menghela nafas lalu menatap Edenin dengan mata berkaca-kaca.
"Mbok bersih-bersih biar nanti kalo pas non Ver pulang, suasana di sini tetep sama kayak dulu pas dia tinggalin, non." Jelas mbok Tun yang langsung membuat Edenin ikut sedih. "Dulu non Verinda biasanya duduk di tempat non Cheli duduk sekarang." Ia lalu mengucek matanya. Ia terdiam cukup lama karena mengingat percakapannya dengan Verinda tadi. "Kasian non Ver itu-mbok ndak nyangka semuanya bakal jadi begini. Non Ver pergi dari rumah," mbok Tun tidak meneruskan kalimatnya.
"Mbok, aku juga sedih. Verinda tuh keras kepala banget. Kepala batu. Keras hati. Nggak mau dengerin omongan orang." Keluh Edenin sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. "Dia selalu ngehindar kalo ketemu aku di sekolah."
Mbok Tun kembali mengucek matanya lalu menghampiri Edenin. Ia menepuk-nepuk punggung Edenin sambil menimang-nimang sesuatu dalam hatinya.
"Dia nggak tau kalo papa sama aku nggak peduliin status dia. Kita semua sayang sama dia tapi dia," Edenin memejamkan matanya lalu menjatuhkan kepalanya ke pangkuan mbok Tun. "dia nggak mau tau. Dasar anak reseh. Belagu. Sok kuat." Lanjutnya dengan suara pelan yang serak.
Mbok Tun membelai kepala anak majikannya dengan sayang.
"Non," mbok Tun kembali terlihat bimbang.
"Kenapa, mbok?" tanya Edenin sambil mendongak menatapnya.
Mbok Tun menghela nafas berat. Maafin mbok ya, non Ver. Mbok sayang sama non Verinda tapi mbok juga ndak tega sama non Chelia. Mbok sayang sama kalian berdua. Ia menatap Edenin sambil menghapus air mata dari pipi Edenin.
"S-sebenernya," Edenin langsung menegakkan duduknya dan menatapnya. "mbok sebenernya ndak boleh-tapi, mbok ini jadi bingung."
"Mbok ada apa? Bilang aja." Kata Edenin tidak sabar. Ia dapat merasakan ada sesuatu rahasia yang ingin dikatakan mbok Tun. "Mbok bilang ke aku sekarang. Aku janji nggak akan bilang ke siapa pun." Tambahnya untuk meyakinkan.
"Tadi non Verinda ke sini." Katanya dengan nada ragu. Edenin langsung melotot tidak percaya. "Lebih tepatnya di depan rumah, non. Mbok ajak masuk ndak mau."
"Dia bilang apa aja, mbok?! Dia lama di sininya?!"
"Non Verinda cuman sebentar. Dia ke sini mau pamitan ke mbok."
"Udah?" Edenin nampak tidak puas. "Segitu doang, mbok?" Edenin menghela nafas sambil menggeleng sementara mbok Tun mengangguk ragu. "Mbok nggak bohong, kan?" Edenin memeluk kakinya sambil menyembunyikan wajahnya ke lutut.
"Mbok ndak bohong kok, non. Beneran non Verinda cuman pamitan tadi,"
Sampai pada titik ini Mbok Tun memutuskan untuk tidak terus melanggar janjinya lagi karena teringat janjinya di atas kepala Verinda.
"Dia itu kok tega banget sih, mbok? Kenapa nggak ngasih kesempatan buat aku, papa-m-mama," suara Edenin mulai serak. "perbaikin semuanya."
Tangis Edenin pecah sementara mbok Tun hanya bisa menatap iba. Mbok Tun memeluk Edenin sejenak. Kedua mata tuanya ikut berkaca-kaca.
"Mbok seneng non yang sekarang. Dewasa. Seandainya aja,"
"Iya, mbok." Potong Edenin. "Seandainya aja aku dari dulu," gumamnya lalu kembali menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangan dan lututnya.
Seandainya aja waktu itu dia nggak nolongin aku-apa mungkin aku yang sekarang masih mau peduliin dia? Ya Allah, aku bisa ngerti gimana bencinya dia sama aku. Aku ngerti-tapi, apa semuanya nggak bisa diperbaikin? Tak lama ia kembali mendongak menatap mbok Tun.
"Trus dia bilang apa lagi, mbok?"
"Hmm, non Verinda nitip pesen supaya si mbok tetep ngerawat taneman-tanemannya. Jangan sampai ada yang mati katanya." Mbok Tun memutuskan untuk membocorkan pesan Verinda yang menurutnya tidak terlalu penting.
"Dasar anak aneh." Edenin mendengus sambil menggeleng.
Sama sekali nggak nitip pesen buat aku atau papa-apalagi ke mama. Buat dia taneman-tanemannya jauh lebih berharga dari keluarganya sendiri. Dia jauh lebih kuatir tanemannya nggak ada yang ngurusin daripada keluarganya. Dasar anak itu....
Mbok membuang nafas panjang dan berat. Maafin mbok ya, non Chelia. Ternyata mbok ndak sanggup ngelanggar janji mbok ke non Ver. Mbok ndak bisa ceritain semua yang dibilang sama non Verinda tadi. Mbok Tun mengalihkan pandangannya dan memandangi seluruh halaman belakang yang dipenuhi tanaman yang pernah dirawat Verinda. Semoga non Verinda cepet pulang dan memperbaiki semua ini. Karena cuman non Verinda sendiri yang berhak ngomong semua yang tadi dia bilang ke aku soal perasaannya ke non Chelia, tuan Surya-dan, ke nyonya Belinda juga....
____________________________________
🤧🤧🤧🤧🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...