Verinda jatuh menelungkup di rumahnya. Beberapa pelayannya tampak panik menggerubunginya. Jeany datang dengan tergopoh-gopoh.
"Waduh, kenapa ini bocah bisa tidur di sini?!" tanya Jeany panik.
"Non Verinda tadi minum salah satu koleksi minuman almarhum tuan Adham." Jawab salah seorang pelayan yang melingkarkan tangan Verinda ke bahunya.
Jeany menepuk dahinya dengan frustasi.
"Jangan bilang ini anak bakal jadi kayak bapaknya! Bisa susah gue!" omelnya sambil menoleh ke botol yang tergeletak di sekitar Verinda. "Gila anak ini! Nggak biasa minum... tau-tau minum vodka! Jelas aja dia langsung pingsan! Ya udah tidurin ke sofa sana aja. Bikinin kopi item kental buat netralin mabuknya." Katanya pada seorang pelayan yang lain.
Jeany menyodorkan secangkir kopi hitam pahit hangat ke mulut Verinda. Perlahan Verinda menelannya meski sambil meracau tidak jelas.
"Bagus, Ver. Mending elo merem aja daripada melek tapi pusing."
Verinda menggeliat pelan namun mendadak ia menyeringai sambil memegangi perutnya. Ia mulai mengerang kesakitan.
"VER?! K-KENAPA LO?" wajah Jeany langsung pucat.
Verinda berteriak makin keras dengan salah satu tangan menutup mulutnya. Ia mulai batuk tertahan. Ia berusaha menahan sesuatu yang ingin mendesak keluar. AAAARGH...!! Akhirnya, ia memuntahkan isi perutnya.
"VER?! PANGGIL DOKTER! AMBULANS!! CEPET!!" Jeany makin histeris panik.
Pelayan yang berada di dekat mereka langsung semburat panik. Tangan Jeany gemetaran menepuk pipi Verinda yang berdarah.
"Ver?! Ya ampun elo kenapa?! Kenapa muntah darah?" bisiknya pada Verinda.
Verinda tidak menjawab. Ia hanya mengerang kesakitan memegang perutnya. Tak seberapa lama ambulans datang. Verinda segera dibawa ke rumah sakit ditemani Jeany yang juga ikut dalam ambulans.
"Dokter?! Gimana, dok?! Kenapa dia, dok?!" cerocos Jeany begitu melihat dokter yang memeriksa Verinda keluar dari UGD.
"Tenang, bu. Dia putri ibu?"
"Bukan," Jeany menggeleng. "s-saya asistennya, dok." Karang Jeany.
"Saya perlu bicara sama orang tua atau keluarganya,"
"Dia nggak punya siapa-siapa lagi, dok." Potong Jeany cepat. "Saya boleh dibilang keluarganya gitu, dok. Jadi, bisa kasih tau saya kenapa dia?" lanjutnya.
"Baik. Jadi begini, bu, saya curiga ada masalah serius sama perutnya. Rasa sakit yang di perutnya itu sepertinya bukan gejala penyakit biasa. Tapi, saya nggak berani bilang apa itu sebelum kita lakukan general check up atau CT-scan sekalian supaya jelas penyakitnya."
"T-tunggu, dok. Saya nggak ngerti tetek bengek begituan. Bisa dokter jelasin aja ke dokter Darmawan? Dia dokter keluarga majikan saya, dok. Dia lagi dalam perjalanan kemari. Gimana, dok?"
"Dokter Darmawan?" Dokter itu lalu mengangguk. "Yah, saya kenal beliau. Dia juga pegang rumah sakit ini. Ya sudah, bu, kalau gitu saya pergi dulu."
"Iya, dok. M-makasih banget."
********************************
"KANKER?!" Jeany melotot tidak percaya pada dokter Darmawan.
Dokter Darmawan menghela nafas berat sambil mengangguk untuk kesekian kalinya. Dokter yang dulunya merawat papa Verinda itu baru saja menjelaskan hasil CT-scan Verinda pada Jeany.
"Gila ini-GILA BANGET!!" Jeany masih sulit percaya. "Anak yang belagu, yang angkuh itu ternyata-dia," Jeany terdiam menggeleng.
"Kayaknya dia udah tau penyakitnya itu, Jean. Obat yang kamu ambil dari kamarnya itu-itu bukan obat atau vitamin kayak yang kamu bilang. Itu obat khusus buat menghilangkan rasa sakit pada penderita kanker."Jeany memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Ia lalu menyanggah kepalanya dengan kedua tangan sambil menatap bingung pada dokter Darmawan.
"Jadi harus gimana, dok? Apa dia bisa sembuh?"
Dokter Darmawan menggeser duduknya sambil terbatuk berat. "Bukannya pesimis, Jean. Kalau aja dia ditangani lebih cepat kemungkinannya pasti lebih besar. Yah, tapi berusaha sekarang juga belum terlambat. Semua tergantung anak itu."
"Pasti dia mau sembuh dong! Masa iya dia nggak mau," Jeany terpekur menatap mata dokter Darmawan yang menyiratkan sesuatu. "lho? E-emangnya, d-dia nggak,"
"Saya udah ngomong sama dia, Jean. Dari awal dia tau penyakitnya, dia nggak mau berobat atau operasi. Dia malah minta saya buat cari obat penahan sakit yang dosisnya lebih tinggi karena dia ngerasa obatnya sekarang udah kebal buat dia."
"Hah?!" Jeany makin shock. "J-jadi dia niat,"
"Saya nggak tau tapi kayaknya dia lagi ada masalah berat-dan, mungkin gara-gara itu dia jadi nggak mau berobat. Coba kamu bujuk dia, Jean. Kalau kondisinya begini terus-saya takutnya, ehm, dia mungkin nggak akan bertahan lama."
"Ya ampun, dok! Dokter kan tau dulunya gue kayak gimana? Mana gue bisa bujuk dia, dok. Dia bisa gorok leher gue kalo gue dianggap ikut campur! Dia ama bapaknya tuh bukan sebelas duabelas lagi tapi duabelas sama! Plek banget! Kembar dempet model otaknya!" cerocos Jeany histeris.
"Jean, saya nggak bermaksud ungkit-ungkit-tapi, kalo kamu mau balas jasa pak Adham... mungkin ini saatnya, Jean. Maaf kalau saya ngomong begini."
Wajah Jeany mendadak serius. Ia terdiam lama menatap dokter Darmawan.
"Dok, bener banget." Katanya kemudian. "Gue yang sekarang, yang bisa duduk di sini-itu, karena pak Adham. Oke, dok. Gue bakal berusaha."
Dokter Darmawan mengangguk sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...