Mama duduk tertunduk memainkan sendok makan yang dipegangnya. Suasana ruang makan sangat sunyi. Kesunyiannya mungkin setara dengan suasana kuburan di malam Jum'at kliwon. Bahkan para abdi dalem ikut menyemarakkan kesunyian dengan menyiapkan hidangan tanpa menimbulkan suara dari perabot dapur yang saling bersentuhan. Tidak ada satu orang pun yang berani buka suara sejak papa menggebrak meja.
"Lho, mana Ver?" kata papa memecahkan keheningan saat melihat Edenin menuruni tangga sendirian.
"Itu masih jalan di belakang aku." Jawab Edenin sambil duduk di kursinya.
Verinda lalu muncul menuruni tangga. Ia berjalan tegak dan tenang meski perutnya masih terasa sakit meski tidak sesakit tadi siang. Namun ia tidak dapat menyembunyikan raut wajah pucat dan keringat yang mengucur di dahinya.
Perlahan Verinda menggeser kursi yang berada di samping Edenin. Pandangan matanya langsung tertuju pada piring kosong di depannya. Gue nggak boleh keliatan sakit!! Gue harus kuat! Orang itu... dia nggak akan gue biarin!!
Diam-diam papa memperhatikan tingkah laku Verinda. Ia ingin menanyakan kenapa Verinda seharian ini hanya mengurung diri di kamar namun papa membatalkan niatnya. Papa tidak ingin memancing kemarahan mama.
"Mbok Tun, tolong keluarin makanan ya." Pinta papa berusaha mencairkan suasana tegang.
Mbok Tun segera menyajikan masakannya ke meja dengan dibantu beberapa pembantu lainnya. Acara makan malam pun dimulai dengan suasana kaku. Tidak seperti biasanya yang selalu diselingi percakapan ringan antara Edenin dengan papa dan mama.
Verinda melahap makanannya dengan segan. Ia sama sekali tidak berselera walau hidangan malam itu adalah makanan favoritnya. Mama juga tidak dapat menikmati makan malamnya.
Anak itu!!! Bisa-bisanya dia setenang ini! Padahal gara-gara dia acara makan malam jadi kacau! Dasar anak nggak tau diuntung! Dia bahkan nggak minta maaf setelah bikin semua orang nunggu dia!! Mama makin tidak bisa menahan marahnya saat ia menatap Verinda yang melahap makanannya dengan tenang.
"KAMU ITU SEHARIAN NGAPAIN AJA SIH?! KAMU NGGAK TAU APA KALO TADI SEMUA ORANG ITU NUNGGU KAMU!! BISA-BISANYA KAMU NGGAK MERASA BERSALAH DAN BERSIKAP SETENANG INI!! GARA-GARA KAMU MAMA JADI KENA MARAH PAPA!! DASAR ANAK PEMBANGKANG!!"
Seisi ruangan langsung kaget mendengar ledakan dahsyat kemarahan mama kecuali Verinda yang memang sudah memprediksikan kejadian itu. Verinda diam saja mendengar omelan mamanya sambil tetap melahap malas makanannya. Ia bersikap seolah tidak mendengar suara apapun.
"Mama...! Udah dong...." Pinta Edenin yang berusaha menenangkan.
Sikap Verinda yang tetap cuek dan tenang membuat kemarahan mama semakin membucah tak terkira. Ia tidak menggubris perkataan Edenin yang memintanya untuk berhenti. DASAR ANAK KURANG AJAR!! BERANINYA DIA BERSIKAP BEGINI SAMA AKU PADAHAL AKU MAMANYA!!! NGGAK TAU ADAT! Mama menggebrak meja untuk menggertak Verinda yang terus cuek.
"KAMU DENGERIN MAMA NGGAK SIH?! JAWAB!! HEH, JANGAN DIEM AJA KAYAK ORANG BISU DAN TULI!! DASAR ANAK NGGAK TAU ADAT! NGGAK TAU SOPAN SANTUN! ANAK NGGAK TAU DIUNTUNG! ANAK KURANG AJAR!!" maki mama yang memerahkan telinga Verinda.
"Cukup, ma! Jangan diterusin lagi! Kata-kata kamu udah keterlaluan!" papa berusaha menengahi.
"UDAH BIARIN AJA, PA! PAPA NGGAK AKAN PERNAH BISA NGERTI PERASAANKU!! AKU NGGAK BISA TAHAN TIAP NGELIAT KELAKUAN ANAK INI YANG SELALU NYUSAHIN DAN NGEREPOTIN KITA!!" balas mama seraya bangkit dari kursinya.
Edenin hanya bisa membisu mendengar ucapan mama yang terdengar sangat menyakitkan. Ia tidak menyangka mama yang selama ini begitu lembut padanya sanggup mengeluarkan kata-kata sepedas dan sekasar itu pada Verinda. Mama... kenapa mama bisa jadi sekasar ini? Perlahan ia mengalihkan pandangannya pada Verinda yang duduk di sampingnya. Dan kenapa dia bisa setenang dan sedingin ini? Kenapa elo nggak bilang yang sebenernya, Ver? Kenapa? Kenapa elo cuman diem kayak patung? Kenapa cuman sikap dingin yang elo tunjukin? Apa yang sebenernya terjadi diantara kalian? Kenapa ada sorot mata penuh benci?
Verinda tetap tak bereaksi walau sudah dimaki habis-habisan. Ia meneruskan makannya tanpa terganggu walau dalam hatinya berkobar amarah yang juga tidak kalah hebat dengan mamanya. Sabar, Ver! Elo nggak denger apa-apa!!! ELO NGGAK DENGER APA-APA!! Jangan biarin orang ini menang!! Jangan balas makiannya!! Jangan... tahan walau sepedas dan sepahit apapun!! Jangan sekarang!!
Sementara papa terpekur mendengar ucapan mama. Papa sudah tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meredam kemarahan mama. Untuk sesaat papa dan mama hanya saling pandang tanpa bisa saling memahami. Suasana menjadi makin hening bercampur tegang. Para pembantu hanya bisa diam. Tidak ada yang berani bergerak atau bersuara. Mungkin jika bisa mereka rela berhenti bernafas sejenak untuk mengurangi keributan saat itu.
Verinda menyelesaikan suapan makanannya yang terakhir. Ia menyilangkan sendok dan garpunya lalu meneguk segelas air sudah tersedia. Ia langsung meneguk minumnya sampai habis walau setiap tegukan terasa begitu berat dan menyesakkan perutnya yang masih nyeri.
Verinda segera bangkit dari duduknya setelah mengelap mulutnya. Manuver yang dilakukan Verinda langsung menarik semua perhatian orang yang ada di ruang makan tidak terkecuali mama yang emosinya siap untuk diledakkan kembali.
"Aku duluan." Kata Verinda sambil menatap mamanya dengan dingin.
Mama tersentak melihat sikap Verinda yang dengan sangat jelas dan terang-terangan menantangnya. B-beraninya dia!!! Beraninya dia menatap aku dengan mata itu!! Mata yang dingin dan angkuh itu!!! Aah, mata itu-kenapa harus mata itu yang.... Mama bersiap untuk memarahi dan memaki Verinda sekali lagi. Belum sempat membuka mulut, papa menarik pergelangan tangan mama. Papa menatap lurus mama sambil menggeleng pelan. Mama langsung terpekur lalu akhirnya menunduk. Maafin mama, pa. Maaf-ini memang semua salahku....
Verinda membalikkan badannya menuju tangga. Ia berusaha untuk bertingkah sewajar dan setenang mungkin. Namun, ia tidak lagi menyembunyikan kemarahan di wajahnya ketika ia membelakangi semua orang. Hatinya yang panas menahan emosi membuat kepalanya berdenyut, alisnya berkerut, giginya gemeretak dan kedua tangannya mengepal. Sungguh saat itu ia ingin membanting semua yang ada di sekitarnya.
Edenin masih juga terpekur melihat kejadian tersebut. Ia hanya bisa duduk dan diam seribu bahasa. Ia menoleh ke arah papa yang terus memandangi kepergian Verinda. Tak lama papa menatapnya namun ia langsung tertunduk. Ia shock berat karena kejadian barusan. Ia masih tidak memahami kenapa ini harus terjadi.
Edenin bingung kenapa mama semarah itu untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu dibesar-besarkan. Ia mulai merasakan kedua matanya mulai basah. Cepat-cepat ia menghapusnya sambil menggeser pandangannya ke Verinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...