"Pagi, Chel." Sapa papa ketika melihat Edenin datang.
"Pagi, pa." Balas Edenin sambil tersenyum. Ia sempat melirik ke arah mama yang tidak biasanya tidak menyapanya. Jadi kayak gini rasanya dicuekin mama? Ver, elo emang punya mental yang kuat... gue nggak bisa bayangin kalo gue ada di posisi elo. Edenin lalu menggeser kursinya.
Mbok Tun keluar dari dapur dan menyuguhkan makanan kepada Edenin.
"Chel, emang anak kelas dua di sekolah kamu lagi ada acara?"
Edenin menggeleng lalu balik tanya, "Emang kenapa, pa?""Oh," papa lalu manggut-manggut. "kalo gitu kenapa adik kamu pake baju bebas ke sekolah?"
"Hah? Maksud papa apa?" Edenin mulai menyuap makanannya.
"Iya, tadi pagi-pagi banget papa liat si Ver berangkat pake baju bebas tapi dia bawa tas ransel sekolahnya kayak biasanya."
"Paling dia bolos." Celetuk mama cuek.
"Setau aku sih nggak ada, pa. Tapi aku nggak tau pasti. Bisa aja ada acara kelas." Jawab Edenin yang tidak menanggapi celetukan mama.
"Ooh," papa kembali manggut-manggut.
"Sebenernya," Edenin sengaja menggantungkan kalimatnya. "nggak jadi, pa." Lanjutnya kemudian. Gue harus gimana, Ver? Apa gue harus ngomong sekarang ke papa ama mama soal penyakit elo? Tapi, ntar....
"Kenapa sih, Chel?" tanya papa masih penasaran.
"Nggak kok." sahut Edenin cepat.
Verinda berdiri bersandar pada gerbang sekolah sambil sesekali melirik arlojinya. Ia terlihat tidak sabar menanti sesuatu. Beberapa kali ia mondar-mandir lalu celingukan melihat ke ujung jalan sekolahnya.
Suasana sekolah mulai ramai seiring dengan berjalannya waktu. Beberapa mobil berseliweran masuk ke pelataran parkir sekolah. Tidak sedikit siswa yang mengenalnya menatap heran pada pakaian yang dipakainya. Verinda memakai sebuah T-shirt, jaket dan celana jins biru gelap yang sudah belel. Bukan jenis pakaian yang aneh seandainya tidak dipakai saat jam sekolah. Verinda cuek saja meski jadi ditatap aneh oleh teman-teman sekolahnya.
Motor sport Ducati warna merah Raditya terus melaju cepat menuju sekolah. Begitu sampai di gerbang sekolah ia memperlambat laju motornya hingga akhirnya berhenti. Ia membuka helm yang menutupi wajahnya lalu melihat ke arah Verinda dengan heran.
"Apa-apaan lo?" tanya Raditya heran sambil melihat dandanan Verinda dari atas sampai bawah.
Verinda mendengus mendengar pertanyaan yang sudah ia duga akan muncul. "Gue mau pinjem motor lo." Katanya tanpa basa-basi.
Raditya kembali dibuat heran. Ia lalu mematikan mesin motornya untuk memastikan hal yang barusan didengarnya tidak salah.
"Nggak salah? Maksud lo?"
"Gue pinjem. Bisa nggak?" kata Verinda mengulangi.
"Iya, tapi apa lo bisa?" Raditya jadi sangsi.
"Bisa. Gue pinjem cuman mpe sebelum lo pulang sekolah."
"Mau kemana, sih? Sampe elo bolos segala." Raditya masih tidak habis pikir dengan aksi Verinda kali ini.
"Boleh nggak sih?!" Verinda mulai habis kesabaran.
"Boleh aja! Cuman elo mau ke mana? Gue berhak tau dong motor gue mau elo bawa ke mana. Gue nggak mau nyampe ada urusan sama polisi gara-gara tingkah kriminal yang mungkin bakal elo lakuin." Kata Raditya beralasan.
Verinda menarik nafas panjang sambil mengalihkan pandangannya sejenak.
"Gue cuman mau cari alamat." Jawabnya kemudian. "Kalo gue carinya pake bus bisa abis duit gue." lanjutnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
أدب المراهقين"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...