Selamat siang, selamat baper 😧
____________________________________Raditya mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Ia mendengus menahan amarahnya.
"Udahlah, Dit. Nggak usah segitunya," Edenin sambil meraih tangan Raditya. "Elo udah mau susah-susah bantuin gue, itu juga gue udah makasih banget. Nggak peduli apapun hasilnya." Edenin berusaha memamerkan senyum terbaiknya walau dalam hatinya ia tidak bisa mengelak bahwa ia juga kecewa.
Raditya masih mendengus kesal sambil tetap menggeleng sementara Edenin berusaha untuk menenangkannya dengan mempererat genggaman tangannya lalu tangannya lain menepuk pundaknya. Tak seberapa lama keduanya pun tersadar bahwa ada yang tidak seharusnya dilakukan. Keduanya buru-buru saling menjauhkan diri dengan canggung.
"Sorry, Dit. Kebiasaan kalo sama temen-temen cewek." Kata Edenin salah tingkah setelah sekian lama keduanya terjebak dalam kebisuan.
Raditya berusaha tersenyum walau kikuk.
"Ya udah, sekarang... kita yang di sini, mau nggak mau harus tetep jalanin idup kita, Chel. Elo nggak boleh berlarut-larut sedih mikirin adek lo." Raditya berusaha mencairkan suasana dan membangkitkan semangat.
Edenin mengangguk dengan kesan semangat yang dipaksakan.
"Janji?" Raditya menjulurkan jari kelingking kanannya.
Edenin tersenyum sambil mengaitkan jari kelingkingnya ke jari Raditya.
"Janji! Kita harus semangat. Apalagi bentar lagi kita mau ujian akhir."
"Iya bener." Raditya tertawa sambil melepaskan jari kelingkingnya lalu meraih dan menggenggam kedua tangan Edenin. "Pokoknya kita sama-sama berjuang biar lulus ujian bareng, ya?"
Seperti ada petasan yang tiba-tiba meledak di hati Edenin ketika mendadak Raditya menggenggam kedua tangannya. Ledakan yang cukup membuat wajahnya mendadak terasa panas dan memerah.
"I-iya, Dit." Sahut Edenin sedikit salah tingkah.
Mereka tersenyum kemudian saling melepaskan tangannya. Keduanya lalu kembali terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Padangan Edenin menerawang jauh, berulang kali ia menarik nafas panjang.
Kedua mata Edenin lalu tertuju ke meja di dalam pendopo yang diatasnya terdapat sepiring apel dan dua minuman yang tadi disuguhkan oleh mbok Tun. Seperti ada yang menghujam jantungnya. Kedua mata Edenin perlahan mulai berkaca-kaca. Perlahan ia mengulurkan tangannya untuk mengambil apel tersebut.
Edenin menatap nanar apel itu sambil menggeleng pelan. Ia teringat bagaimana dulu sekali ia pernah duduk bersama dengan adiknya dengan suasana yang tidak jauh beda dengan yang sekarang terjadi. Suasana kaku.
"Gue kupasin elo apel ya, Dit." Kata Edenin kemudian sambil mengambil pisau yang tergeletak di meja.
Raditya mau menolak tawaran Edenin jika saja ia tidak melihat ada yang aneh dengan ekspresi wajah Edenin. Akhirnya, ia memilih diam dan menanti.
"Elo tau nggak, Dit?" kata Edenin lagi sambil mulai mengupas kulit apelnya. "Dulu banget... gue pernah duduk di sini sama anak itu. Iya, untuk pertama kalinya, Dit. Dalam sejarah hidup gue-gue duduk bareng lagi sama anak yang hatinya keras kayak batu itu." Edenin seolah membincangi dirinya sendiri dan mulai asyik mengupas kulit apelnya secara melingkar tanpa terputus.
"Waktu itu gue juga duduk di sini dan dia duduk di tempat elo duduk sekarang," Edenin menatap Raditya sekilas lalu kembali pada apelnya. "Sama kayak waktu itu, gue duduk sambil ngupasin apel. Waktu itu, gue sebel banget sama dia. Gue udah berusaha baek-baekin dia, ngajak omong dia. Eh, dianya nggak nyaut cuman ngangguk doang. Nyebelin, kan Dit?!""Chel, elo baek-baek aja, kan?" Raditya menatap prihatin pada Edenin yang mendadak terlihat labil emosinya.
Edenin tersenyum menatap Raditya sambil mengangguk lalu menghapus setetes air mata yang jatuh dari pipinya.
"Terus jadinya gue ngupas apel aja kan, biar nggak bete," Edenin kembali mengupas apelnya yang kupasan kulitnya telah menjuntai ke bawah. "eh, nggak taunya dia malah tertarik ngeliat gue yang jago ngupas apel kayak gini. Nggak keputus potongan kulit apelnya. Gue bilang sama dia, nggak semua orang bisa kayak gue. Elo tau dia terus ngapain, Dit?" wajah Edenin tampak makin emosional
"Chel,"
"Dia ngambil apel yang ada di meja terus dia mulai ngupas apelnya. Awalnya sama kayak gue ini cara dia ngupasnya," Edenin kembali melanjutkan kupasannya. "tapi, nggak lama-kupasannya udah keputus." Edenin sengaja memutus kupasannya yang telah memanjang itu untuk menyamakan cerita yang sedang dikisahkannya.
Edenin lalu tersenyum menatap sekilas Raditya.
"Gue ngetawain dia waktu itu-tapi, dianya malah tetep asik ngupas apelnya pake caranya sendiri. Gue jadi penasaran waktu itu, soalnya makin lama kupasan dia nggak beraturan dan keputus-putus. Elo tau dia bikin apa dari apelnya itu?" Edenin lalu menunjukkan apelnya yang belum selesai terkupas.
Raditya hanya menggeleng pelan sambil terus menatap Edenin.
"Dia bikin bola dunia dari apelnya itu, Dit!" Edenin lalu tertawa kering. "Gila, kan? Sumpah aslinya dia pasti kreatif dan pinter banget. Dia bikin gugusan benua-benua dari kulit apel yang emang sengaja nggak dia kupas, Dit. Gue melongo abis waktu itu liat apelnya." Edenin kembali tertawa.
"Chel," Raditya menepuk bahu Edenin.
"Dan, elo tau gue bilang apa ke dia abis itu? Gue bilang kalo gue pasti bisa bikin bola dunia dari apel juga. Gue janji gue bakal pamerin apel bola dunia gue kalo gue udah bisa," Suara Edenin mendadak menjadi serak. "tapi, nyatanya... sampe dia pergi-gue, gue masih nggak bisa bikin bola dunia itu." Edenin mati-matian menahan isak tangisnya hingga suara terdengar bergetar dan serak.
Raditya terpaku mendengar dan memahami cerita Edenin. Selama beberapa detik, ia tidak tahu berbuat apa sampai akhirnya ia memberanikan diri mengelusnya kepala Edenin dengan lembut dan penuh empati.
"Ada di mana pun dia-semoga, dia selalu sehat," gumam Edenin sambil kembali menatap jauh dengan mata yang berkaca-kaca. "dia pasti bisa sembuh, pokoknya gue yakin dia p-pasti bisa," suara Edenin timbul tenggelam karena berusaha menahan tangisannya yang sudah pecah. "dan, kalo pun-kalo pun dia," suara Edenin nyaris hilang dalam isakannya.
"Dia pasti sembuh, Chel." Potong Raditya.
"Kalo pun dia nggak sanggup bertahan," suara Edenin serak bagaimana pun ia berusaha untuk terlihat setegar mungkin. "gue cuman mau tau tempat dia," Edenin tidak bisa melanjutkan perkataannya karena Raditya menariknya ke bahunya.
"Udah nggak usah diterusin, Chel. Elo harus yakin kalo dia pasti bisa bertahan. Anak belagu kayak dia," Raditya menggeleng. "nggak akan semudah itu pergi. Gue yakin kalo dia suatu hari nanti pasti balik lagi ke sini. Nemuin elo dan keluarga elo. Karena masih banyak urusan yang belum selesai diantara kalian." Lanjutnya sambil mengelus kepala Edenin. Dan, juga urusannya sama gue....
Edenin hanya terdiam mendengarkan. Ia membiarkan wajahnya yang berurai air mata tersembunyi dibalik bahu Raditya.
Ver, gue cuman bisa doain elo dari sini. Ada di mana pun elo, gue harap elo bisa ngerasain kalo gue, papa bahkan mama selalu kuatirin elo. Kita semua sayang sama elo.... Semoga masih ada kesempatan buat kita ketemu lagi dan nyelesaiin semuanya. Karena, gue yakin-dalam hati kecil elo, elo tau kalo sebenernya elo juga sayang sama kita semua.
"Dan, sampe waktu itu dateng," Raditya melepaskan pelukannya sambil memamerkan senyum tulusnya. "elo masih punya banyak waktu buat belajar bikin bola dunia dari apel itu." kedua tangan Raditya bergerak menghapus tetesan air mata yang membasahi kedua pipi Edenin. "Elo harus bisa bikin bola dunia itu, Chel. Biar kalo pas ketemu, itu anak nggak belagu lagi." Hibur Raditya lagi.
"Makasih banget ya, Dit." Kata Edenin kemudian sambil beringsut melepas kedua tangan Raditya dari wajahnya. "Elo udah baek banget mau nemenin gue. Dengerin curhatan gue. Sekali lagi makasih ya, Dit." Lanjutnya.
Raditya mengangguk sambil tersenyum."Sama-sama, Chel." Sahutnya sambil mengelus lembut kepala Edenin.
TAMAT
😁😆😂🤣
✌✌✌.......💃💨💨💨 *kaboooorrrr
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...