😢😢😢 tissue mana tissue 🤧🤧🤧
____________________________________Beberapa hari kemudian
"Mau mpe kapan lo begini?" tanya Jeany ketika membuka pintu kamar Verinda.
Verinda menoleh mencari asal suara yang sudah cukup familiar baginya. Ia menatap Jeany sejenak lalu kembali memalingkan muka.
Jeany menghela nafas sambil menggeleng. Ia lalu duduk di samping Verinda.
"Gue tau apa yang elo rasain sekarang."
Verinda tersenyum sinis lalu menatap Jeany.
"Jangan ngeremehin gue, Ver. Gue lebih banyak makan asem garem daripada elo." Kata Jeany menanggapi kesinisan Verinda. "Umur sepuluh gue diperkosa sama bokap tiri gue," Jeany berusaha menahan getaran suaranya.
Verinda menatap lurus Jeany. Senyum sinisnya langsung hilang.
"Gue diancem kalo sampe nyokap tau, gue bakal dibunuh sama bokap tiri gue itu. Umur sebelas nyokap gue meninggal." Jeany memejamkan mata berusaha menahan emosinya. "Belum genap sebulan nyokap meninggal-gue, gue dijual ke germo."
Verinda meneguk ludah mendengar cerita singkat Jeany.
"Kenapa? Lo kaget denger cerita gue?" katanya kemudian setelah beberapa saat terdiam. Ia lalu tersenyum getir dan menoleh ke Verinda. "Apa elo pikir dulu gue melacur itu karena gue iseng? Gue hobi ganti-ganti pasangan?"
Verinda mengalihkan pandangannya. Tidak menjawab.
"Gue nggak berpendidikan. Cuman badan gue yang bisa gue pake. Gue akhirnya milih profesi itu sampai akhirnya gue ketemu bokap lo." Ia lalu menepuk bahu Verinda. "Apapun masalah yang elo hadapin-semua pasti ada jalan dan hikmahnya. Lo harus bisa dewasa ngadepin semuanya. Jangan nyerah sama penyakit lo." Ia lalu menarik nafas panjang lalu memutuskan bangkit dari duduknya.
"Gue," Verinda membuang nafas dengan berat. "gue anak haram."
Jeany menoleh menatap Verinda yang kemudian membalas tatapannya.
"Gue tau, Ver. Tapi, itu bukan alasan bijak buat lo biarin penyakit itu ngegerogotin hidup elo." Katanya sambil kembali duduk.
"Gue disia-siain," Verinda kembali membuang muka. "gue dianaktiriin,"
"Yah, mungkin bisa dibilang lo senasib sama gue. Bokap tiri kita sama-sama brengsek!" kata Jeany sambil mengangguk-angguk.
"Gue dianaktiriin sama nyokap gue." Sahut Verinda cepat sambil menatap dingin Jeany. "Nyokap kandung gue sendiri." Mulut Jeany terkatup rapat. "Nggak pernah kebayang kalo ternyata gue anak tiri bokap gue itu. Bokap tiri gue orang yang baik. Dia mau anggep gue kayak anak kandungnya sendiri. Diem-diem dulu gue mikir kalo gue bukan anak orang itu. Apa pun yang gue lakuin selalu salah di matanya. Sekecil apapun salah gue-pasti langsung dihukum.
"Orang itu bikin semua orang benci gue. Dia selalu bilang ke semua orang kalo gue anak super nakal dan bandel yang wajib dijauhin. Sementara kakak gue, Edenin-dia selalu dapat pujian. Apa aja yang dia lakuin pasti baek, bener dan bagus di matanya. Edenin nggak pernah sekalipun dimarahin apalagi dihukum kayak gue.
"Dari jaman gue masih TK, orang itu dan kakak gue itu udah kompak banget musuhin gue. Edenin yang cantik, nyenengin, supel bikin semua orang pingin jadi temennya. Anak-anak di TK akhirnya pada ikut jauhin gue karena dia. Nggak ada yang mau maen sama gue lagi. Ke mana aja gue selalu sendirian. Malah pernah tugas sekolah yang seharusnya dikerjain per kelompok terpaksa gue kerjain sendiri. Gara-gara nggak ada yang nawarin gue buat gabung ke kelompok mereka.
"Gue nggak masalah sama semua itu, Jean. Gue nggak keberatan jalanin itu semua. Gue udah biasa sendirian. Gue biasa ngandelin diri gue sendiri. Tapi, satu waktu hubungan gue sama Edenin membaik. Gue seneng banget waktu itu. Dari situ gue tau kalo sebenernya Edenin juga nggak sadar kalo selama ini dia didoktrin buat ngejauhin gue. Orang itu selalu bilang ke dia kalo gue nakal. Jadi, harus dijauhin biar nggak ketularan nakal. Dia nggak dibolehin maen sama gue.
"Gue jadi makin yakin kalo dia itu cuman nyokap tiri. Gue berusaha bersabar dan bertahan ngadepin orang itu. Gue kuat karena gue pikir seenggaknya gue punya bokap kandung yang baik walau dalam hati gue juga nggak tau kenapa-tiap bokap belain gue waktu nyokap mau hukum gue, hati gue perih. Dan, karena waktu itu gue pikir gue sekarang punya kakak yang juga mulai baik ke gue. Gue berusaha kuat, Jean.
"Sayangnya, kebahagiaan gue nggak bertahan lama. Gue divonis kanker dan nggak lama setelah itu gue tau semuanya. Akhirnya, gue tau kenapa hati gue perih tiap kali bokap belain gue. Akhirnya, semuanya jadi jelas. Makin gue tau kenyataannya makin ancur rasanya hati gue." Verinda lalu diam menahan diri untuk tidak menangis.
Jeany menatapnya lekat dan tanpa sadar air menetes dari matanya.
"Lo nggak akan tau gimana sakitnya diperlakuin buruk sama orang yang seharusnya belain elo, nyayangin elo-dan, elo justru dibaikin sama orang yang seharusnya berhak buat ngebenci elo," Verinda menarik nafas panjang lalu menatap Jeany. "bilang ke gue-gue harus gimana, Jean?" Setetes air mengalir ke pipinya.
Jeany tidak mampu menjawab. Ia hanya bisa reflek memeluk Verinda. Ver, gue nggak nyangka hidup lo semenderita ini.... Walau sekilas idup lo nggak kekurangan apapun, tapi ternyata idup lo nggak lebih bahagia dari gue. Kasian banget anak ini. Dia masih muda tapi udah ngadepin masalah serumit ini.
Verinda membiarkan tangan Jeany menepuk-nepuk punggungnya. Ia lalu membenamkan wajahnya di bahu Jeany. Sesaat ia merasa bebannya menjadi sedikit berkurang. Beberapa saat kemudian ia lalu melepaskan pelukan tersebut. Ia menatap Jeany sambil kemudian tersenyum getir.
"Kata dokter, gue bisa kena kanker karena pola makan gue yang nggak sehat. Bisa karena kebanyakan makan junk food, sesuatu yang instan kayak mie instan." Jeany hanya diam dan memandangnya heran. "Apa lo tau dalam seminggu gue bisa dihukum berapa kali?" Jeany hanya menggeleng. Verinda kembali tersenyum sinis. "Gue sendiri nggak tau karena saking seringnya. Dan, apa lo tau hukuman apa yang orang itu kasih ke gue?" Jeany masih belum buka suara dan hanya menggeleng. "Sekali hukuman, dalam seminggu gue cuman dibolehin makan mie instan."
Jeany langsung melotot kaget. Mulutnya terbuka dengan kedua tangan menutupinya. Selama beberapa saat ia hanya bisa mengeluarkan suara tidak jelas.
"Seumur hidup gue lebih banyak makan mie instan. Gara-gara dia." Verinda menyeringai. "Sekarang dia bakal nyesel atas semua perlakuannya ke gue. Ini adalah hukuman gue buat orang kejam kayak dia!" katanya dengan penuh amarah.
"V-ver, elo, jadi elo-elo siksa diri lo, nggak mau berobat cuman buat ngehukum nyokap lo?! Cuman buat nyokap elo biar ngerasa nyesel, lo biarin,"
"Iya." Katanya lalu bangkit dari duduknya dengan cepat. "Seumur hidup dia bakal menderita. Itu pun kalo dia masih punya hati," ia berjalan mondar-mandir di depan Jeany. "kalo dia masih punya hati, dia bakal ngerasain siksaan rasa bersalah. Dia,"
"SINTING LO, VER!" bentak Jeany.
Verinda menoleh sambil menatapnya dengan heran.
"Lo korbanin idup lo cuman buat bales dendam-ke nyokap lo sendiri?! SINTING LO! Biar gimana pun dia itu tetep nyokap lo! Orang yang ngelahirin elo!"
"APA GUE MINTA DILAHIRIN?!" bentak Verinda sengit. "GUE BUKAN ANAK YANG DIA HARAPIN, JEAN! GUE ANAK HARAM!!" bentaknya sambil mencengkeram lengan Jeany. "Biar gimana pun status gue, gue tetep anak kandungnya!" Verinda mendengus kesal. "Jadi, menurut lo yang sinting itu gue?! OKE, GUE SINTING!! TERSERAH PENDAPAT LO!!" ia lalu mendorong bahu Jeany dan beranjak untuk membuka pintu kamar. "KELUAR!" usirnya
Jeany menarik nafas dalam-dalam. Ia masih shock dengan reaksi Verinda yang berubah dengan drastis. Tak lama ia lalu beranjak dari duduknya. Sementara Verinda hanya diam sambil membuang muka darinya.
"Oke, gue emang nggak tau gimana sakit dan ancurnya hati elo. Tapi," kalimatnya terpotong ketika Verinda menatapnya dengan galak. "kalo emang menurut lo, nyokap elo itu udah segitu nggak berartinya buat elo-buat apa elo sia-siain nyawa elo yang cuman satu itu melayang cuman buat ngehukum dia, Ver? Buat apa elo nyerah tanpa usaha sama penyakit elo? Ver, elo punya semuanya sekarang. Aset bokap lo itu luar biasa banyaknya. Jangan sia-siain jerih payah bokap kandung elo."
Verinda mulai terlihat bimbang. Ia termenung menatap Jeany sementara Jeany membalasnya dengan tersenyum.
"Jangan nyerah sama penyakit lo, Ver. Idup lo yang udah tragis ini jangan lo akhirin dengan tragis juga. Pasti ada jalan buat akhir yang lebih baik."
Jeany lalu keluar dari kamarnya. Verinda segera menutup pintu kamarnya. Ia berdiri menyandar pada pintu sambil termenung mengingat setiap kata yang diucapkan Jeany barusan. Pasti ada jalan buat akhir yang lebih baik? Gue punya semuanya? Verinda menggigit bibir bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Troublemaker (nona si pembuat onar)
Teen Fiction"Verinda itu anak badung. Pokoknya mama nggak mau kamu deket-deket dia, Chel." Doktrin itu udah terlanjur melekat di kepala Edenin, kakak Verinda. Mamanya aja udah tobat ngadepin perilaku anak bungsunya. Edenin yang manja dan anak mama, jelas aja la...