Chapter 2

4.4K 296 3
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

“Ugh…” gadis itu mengeluh getir.

Hinata memeras perutnya sekuat tenaga, menahan rasa sakit yang ditimbulkan dari sana. Padahal jam pulang masihlah lama, bersisa beberapa jam kedepan.

Semenjak peningkatan sells membuncah, jadwal makan gadis itu menjadi tidak teratur. Dia tidak ada waktu untuk mengisi perut, hanya bisa menopang dengan makanan ringan demi membunuh rasa lapar. Penyakit anemia yang Hinata miliki terkadang kambuh, bahkan gadis itu kerap mengalami insomnia karena terlalu lelah. Dan kali ini adalah puncaknya. Perut Hinata terasa mual dan sakit.

Gadis itu mulai menekukan tubuhnya, menyembunyikan diri dari para customer yang berlalu-lalang di depan pantry. Keringat dingin mulai membasahi wajah, membuat make up yang menempel disana sedikit luntur.

Tiba-tiba seseorang mendekati Hinata dengan sebuah tepukan yang mendarat pada bahunya.

“Hinata, lo sakit?” dia Sai.

“Iya, nih, kayaknya maag gue kambuh,” Hinata meringis kemudian berusaha berdiri.

“Lo obatin dulu, gih!” pemuda itu melenggang meninggalkan Hinata, menuju customer yang akan memesan setelah menunjukkan letak kotak P3K dilaci meja berkas.

Ia berusaha mengambil kotak obat itu dan akhirnya menemukan obat antasid cair. Tanpa berbasa-basi, Hinata langsung meneguk obat tersebut tanpa menakarnya terlebih dahulu.

“Kamu sakit?” tiba-tiba suara berat Kakashi mengejutkan Hinata.

Gadis itu terbatuk-batuk, “Astaga, Bapak! Ngagetin gue aja!” lalu mendelik ke arah bosnya yang sedang berdiri tidak jauh darinya.

Pria setengah baya itu hanya tertawa renyah. Dia berjalan pelan ke arah Hinata yang masih jongkok, kemudian mendaratkan pusatnya pada sebuah kursi.

“Kalau kamu sakit, bilang aja, gak usah memaksakan diri.” ujar Kakashi, simpati. Tidak ada umpatan atau sarkasme yang biasa pria itu lakukan untuk menggoda anak buahnya. Biasanya, Kakashi akan dengan mudah menggoda Hinata apalagi kondisinya sedang seperti sekarang.

“Nah, itu dia, Pak. Gue mau izin pulang duluan, ya? Gak apa-apa, ‘kan?”

Waktu menunjukkan pukul tiga seperempat. Sekitar empat puluh lima menit lagi jam kerja Hinata berakhir. Karena hari ini adalah hari Rabu dan mengingat customer yang datang pun tidak terlalu padat, sudah dipastikan tidak akan ada lembur.

Apalagi salah satu rekan kerja Hinata sedang mengambil libur.

Perlahan, efek obat tadi mulai memudarkan rasa nyeri pada perut gadis itu. Dia bisa sedikit bergerak bebas, setidaknya Hinata bisa kuat mengemudikan roda duanya sampai ke rumah.

“Baik, kali ini saya—“

“Pak Kashi?”

Seseorang menyela obrolan mereka.

Kakashi mengalihkan netranya kesumber suara dan dengan spontan berdiri. Bosnya tersenyum ramah sebagai sapaan, sementara Hinata hanya mengintip dari balik meja pantry.

Amethyst gadis itu membola sempurna ketika melihat siapa yang berseru pada bosnya. Disana, di depan pantry Hara Cafe and Resto, berdiri seorang pria maskulin bersurai pirang cerah dengan warna kulit sawo matang yang seakan bersinar akibat cahaya lampu. Dia mengenakan kemeja putih bersih, dasi merah melilit sempurna pada nia, tak lupa sebuah Id-card menggantung berdampingan dengan juntaian dasi tersebut. Disana tertulis jelas, nama Si pemilik. Uzumaki Naruto ; Supervisor Hara Electro.

Kakashi sedikit membungkukkan tubuhnya, hormat, “Ah…, Pak Naru, ada yang bisa saya bantu?”

Rasa sakit pada perut Hinata secara ajaib langsung tersembuhkan. Gadis berwajah lugu itu kini berdiri tegak dengan sorot mata yang masih mengunci ke arah seseorang yang disebut ‘Pak Naru’ tersebut, “A-ah, Pak Naru,” dengan sigap ia mengambil alih bill yang Sai pegang.

“Selamat sore, Pak. Berminat memesan sesuatu?” sapa Hinata penuh hormat.

Amethystnya masih tidak bisa lepas memandang mata biru yang dimiliki pria itu. Pun Hinata tersenyum ramah dengan penuh rasa tulus. Tetapi, pria berbadan tegap tersebut sama sekali tidak menampilkan secuil ekspresi pun yang bisa menyegarkan pengelihatannya. Sepersekian detik matanya menatap Hinata, kemudian melengos pada Kakashi.

Eh?

Sai menyiku lengan Hinata dengan pelan, “Lo sakit, 'kan?” bisiknya.

Iya! Malahan sakit banget, Bang!’ pekiknya didalam hati.

Raut muka Hinata berganti syok, melenyapkan mimik ceria yang sempat terpahat disana. Sengatan merambat pada ulu hati, bahkan perasaan sakit pada perutnya seketika terasa kembali lagi. Tanpa mengindahkan ucapan Hinata, Si Spv. Hara Elecro itu melanjutkan percakapan tertundanya dengan Kakashi.

“Bapak senggang? Saya ingin bicara sebentar,” lalu tersenyum tipis.

Kakashi menenggelamkan kedua matanya akibat senyum yang ia buat, “Tentu, Pak.” Kemudian bergegas mendekati pria berdasi tadi dan berlalu bersama menuju Smoking Area.

Hinata merasa dongkol. Ada perasaan menyesal karena sudah menyapa manusia dingin seperti seorang Uzumaki Naruto tersebut. Ini memang bukanlah kali pertama Hinata mendapat perlakuan seperti itu dari Naruto. Tetapi, tetap saja ini sudah keterlaluan.

Pantas saja Hinata banyak mendengar gosip negatif tentang pria Uzumaki itu, tanpa tanggung-tanggung mengklaim bahwa DIA tidak punya ketertarikan terhadap perempuan. Fangirl yang kerap menyorakkan nama Naruto, gadis itu meyakini secara pasti bahwa mereka adalah sekumpulan orang tidak waras dengan kecintaannya pada makhluk dingin seperti Uzumaki Naruto.

Sial.

“Haha, yang sabar, Nat. Hidup emang gak adil…,” pemuda yang menjadi rekan kerja Hinata malah menertawakannya tanpa merasa kasihan.

“Apaan, sih!”

Wajah Hinata berubah masam. Tubuhnya bergerak kembali untuk mengambil poket make upnya yang terletak diatas meja berkas.

Sai semakin menerangkan kegeliannya, “Orang sakit itu diem, bukan malah cari perhatian. Jadinya 'kan gini, drama komedi, haha.” lalu mendudukan diri dikursi.

“Udah, gak usah ketawa deh, gak lucu tau!” Hinata menghela nafas, “Gue pulang duluan, ya. Tolong bilangin ke Pak Leader,”

“Bentar dulu, hei!” pemuda itu berusaha mengendalikan dirinya untuk berhenti tertawa, “Uh, lo makin jelek, Nat! Lagian, 'kan lo udah tau orang itu kayak gimana…”

“Bawel lo, ah!”

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang