Chapter 40

805 130 3
                                    

Naruto © Masashi Kishimoto

Hinata menilik ke arah jam bundar yang menggantung pada dinding. Pukul empat lebih. Jam kerjanya sudah berakhir. Seharusnya gadis itu segera bergegas untuk pulang. Malangnya, Hinata masih memiliki pekerjaan tambahan sebelum dia benar-benar pulang.

Gadis itu menghela napas. Rekan kerjanya, Sai, benar-benar menguras emosi dan tenaga. Selain itu, Kakashi pun tampaknya ikut andil dalam permainan Sai. Dengan wajahnya yang selalu terlihat tenang, Kakashi beberapa kali menyuruh Hinata mengepel lantai.

"Aturannya 'kan memang begitu. Gak boleh pulang kalo lantainya belum bersih." tangannya terlihat sibuk memeriksa laporan. Kakashi duduk di meja berkas sambil menikmati secangkir kopi hitam tanpa gulanya dengan tenang.

Sementara Sai, sedari tadi lelaki itu mondar-mandir. Terlihat sengaja menginjakkan sepatunya yang kotor ke lantai yang sudah Hinata pel, dengan berbagai macam dalih. Sai seakan-akan sibuk dengan pekerjaannya, padahal suasana begitu lengang.

"Aduh, sorry. Gue lagi ngambilin piring sama gelas." kedua tangan Sai memegang gelas kotor, "Noh, masih banyak."

"Yakali! Lo bener-bener kampret, Sai! Sengaja banget bikin gue esmosi! Gak sekalian aja lo buangin 'tuh bekas makanannya ke lantai!" pekik Hinata, "Lagian lo ngapain sih, bawa piring sama gelas satu-satu? Angkut semuanya sekalian!"

Sai tertawa puas, "Ide lo boleh juga." lelaki itu menumpahkan sisa minuman dari gelas yang ia bawa, membuat Hinata menjerit.

"Mayat hidup sialan! Bener-bener sinting lo, Sai!! Tunggu pembalasan gue!" napas Hinata memburu, dia benar-benar emosi pada pria berambut hitam itu.

Sai segera melarikan diri. Melihat raut wajah Hinata dan bersiap-siap akan menghantamnya dengan gagang pel itu membuat dia tertawa alih-alih takut. Pria itu benar-benar hilang entah kemana.

Hinata melemparkan tongkal pel itu ke sembarang arah. Kemarahannya tak bisa digambarkan lagi. Selain kelewat lelah, Hinata juga harus disadarkan dengan beberapa kemungkinan yang akan dijumpainya setelah ini.

Dengan cepat, ia menyambar pouch kosmetik dan handphonenya yang masih dicharge. Tanpa berkata apapun, gadis itu pergi.

"Hinata, ini belum kelar…"

"Bodo amat! Pak Leader kelarin sendiri!"

***

Hinata menuruni anak tangga lumayan cepat. Perasaannya masih dongkol. Tergambar jelas dari wajahnya yang suram dengan mulut yang tak berhenti berkomat-kamit, merutuki apapun yang sudah terjadi.

Gadis itu segera berjalan keluar pintu setelah diperiksa oleh satpam. Kemudian, laju kakinya mengarah pada loker bermaksud mengambil tas dan jaket.

Sebelum akan melangkah masuk, sesuatu memaksanya untuk berhenti. Beberapa suara terdengar dari dalam sana, Hinata pun meyakini ada suara wanita yang menangis. Suara mereka terdengar tak asing, tetapi Hinata hanya menerka.

Bimbang. Perempuan dengan rambut sewarna indigo itu merasa dilema. Hinata takut jika dia masuk malah mengganggu keadaan. Tetapi, ia pun ingin pulang. Tidak mungkin dia meninggalkan tas dan jaketnya begitu saja.

Dengan perasaan berat, gadis itu mengumpulkan keberanian, tangannya mulai mendorong pintu loker itu yang sebenarnya tidak tertutup rapat. Suara deritnya menyambut pendengaran. Ketika Hinata masuk, semua suara seketika berubah hening.

Iris keunguannya yang unik untuk sesaat terlihat melebar. Begitu pula dengan kedua insan disana yang juga sepertinya merasa kaget. Pandangan saling betukar dan bertumbuk, membuat dada Hinata mendesir sekaligus takut.

My Perfect SPV [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang